SUKARNO adalah sosok pemimpin yang penuh dengan visi besar. Sebagai proklamator kemerdekaan, ia tidak hanya membawa bangsa Indonesia keluar dari penjajahan, tetapi juga membayangkan masa depan yang lebih baik, sebuah Indonesia yang berdiri tegak di panggung dunia.
Untuk memahami kedalaman visi ini, kita dapat mengaplikasikan teori Sigmund Freud tentang struktur kepribadian—id, ego, dan superego—dalam membaca perjalanan mimpi-mimpi Sukarno.
Dalam kerangka pemikiran Freud, “id” adalah dorongan naluriah yang menginginkan kepuasan segera. Pada Sukarno, kita melihat id ini dalam hasrat kuatnya untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan.
Sejak usia muda, Sukarno sudah berapi-api dalam memperjuangkan kemerdekaan, dan ini terlihat dalam pidato-pidatonya yang penuh gairah dan keberanian.
Salah satu contoh paling terkenal dari id Sukarno adalah ketika ia berkata, "Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Kalimat ini adalah cerminan dari impiannya yang besar dan kepercayaan mendalam pada kekuatan perubahan yang bisa dilakukan oleh pemuda.
Namun, sebagai seorang pemimpin, Sukarno juga harus berhadapan dengan realitas politik dan tantangan praktis.
Di sinilah peran “ego” menjadi penting. Ego, menurut Freud, adalah komponen yang berfungsi sebagai penengah antara dorongan id dan kenyataan yang ada di dunia luar.
Ego Sukarno terwujud dalam kemampuannya untuk menavigasi politik domestik dan internasional dengan bijaksana.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Sukarno sadar bahwa perjuangan baru saja dimulai, dan membangun sebuah negara yang stabil membutuhkan lebih dari sekadar retorika. "Kemerdekaan hanyalah jembatan," ujarnya, menunjukkan kesadaran bahwa tugas besar membangun bangsa masih berada di depan.
Perjuangan politik Sukarno juga menunjukkan bagaimana ego bekerja keras untuk menyeimbangkan impian besar dengan tantangan praktis. Sukarno sering kali harus membuat kompromi, baik dalam menghadapi kekuatan internasional maupun menghadapi lawan politik di dalam negeri.
Ego ini mendorong Sukarno untuk mengambil langkah-langkah yang tidak selalu populer, tetapi perlu, demi menjaga keberlangsungan bangsa.
Misalnya, keputusan Sukarno untuk mendekatkan diri dengan blok sosialis di tengah perang dingin adalah upaya pragmatis untuk mendapatkan dukungan internasional bagi pembangunan Indonesia.
Selain id dan ego, “superego” juga memainkan peran penting dalam kepemimpinan Sukarno. Superego, dalam teori Freud, adalah komponen yang mewakili nilai-nilai moral dan etika.
Sukarno bukan hanya seorang politisi, tetapi juga seorang idealis yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Superego Sukarno tampak dalam visi besarnya untuk membangun dunia yang adil dan damai.
Salah satu contohnya adalah keterlibatannya dalam Konferensi Asia-Afrika 1955, di mana ia menjadi salah satu inisiator untuk menyatukan negara-negara berkembang melawan imperialisme dan kolonialisme.
Ini adalah bukti bahwa Sukarno tidak hanya bermimpi tentang kemerdekaan Indonesia, tetapi juga tentang kemerdekaan seluruh dunia.
Dengan menggunakan model Freud, kita dapat melihat bagaimana tiga komponen ini saling berinteraksi dalam diri Sukarno.
“Id” memberinya energi dan semangat untuk terus bermimpi, “ego” membantunya menavigasi realitas politik yang kompleks, sementara “superego” menjadi panduan moralnya dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.
Kombinasi dari ketiganya menciptakan kepemimpinan yang visioner, tetapi juga penuh dengan tantangan.
Sukarno adalah seorang pemimpin yang selalu berada di persimpangan antara idealisme dan realitas. Di satu sisi, ia terus bermimpi tentang Indonesia yang besar, kuat, dan berdaulat, tetapi di sisi lain, ia harus menghadapi kenyataan politik yang sering kali tidak sejalan dengan mimpinya.
Di sinilah ego Sukarno bekerja keras untuk menyesuaikan impiannya dengan situasi yang ada. Konflik antara id, ego, dan superego ini membuat perjalanan kepemimpinan Sukarno penuh dengan dinamika.
Namun, satu hal yang tidak pernah hilang dari Sukarno adalah kemampuannya untuk tetap bermimpi besar. Meskipun banyak tantangan yang dihadapinya, ia tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa Indonesia mampu menjadi bangsa yang besar.
Dalam banyak pidatonya, Sukarno selalu menekankan pentingnya mimpi dan visi besar bagi bangsa. Ia percaya bahwa tanpa mimpi, sebuah bangsa akan kehilangan arah.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya," katanya, menegaskan bahwa mimpi-mimpi besar bangsa ini harus selalu diingat dan diperjuangkan.
Pemuda memainkan peran sentral dalam mimpi-mimpi Sukarno. Sukarno selalu menempatkan pemuda sebagai motor utama perubahan. Dalam pandangannya, pemuda adalah agen perubahan yang memiliki semangat dan energi untuk mewujudkan cita-cita besar bangsa.
Ini adalah manifestasi dari id Sukarno yang penuh gairah. Namun, Sukarno juga menyadari bahwa pemuda membutuhkan bimbingan dan arahan, dan di sinilah ego dan superego bekerja.
Ego-nya menuntun agar perubahan yang diinginkan dilakukan dengan cara yang realistis, sementara superego-nya memastikan bahwa perubahan itu tetap sejalan dengan nilai-nilai moral dan kebangsaan.
Di masa akhir kepemimpinannya, Sukarno menghadapi berbagai tantangan yang semakin besar. Namun, meskipun banyak mimpinya tidak sepenuhnya terwujud selama masa hidupnya, semangat untuk bermimpi besar tetap hidup dalam jiwa bangsa ini.
Sukarno mengajarkan kepada kita bahwa mimpi bukan hanya tentang cita-cita yang jauh, tetapi juga tentang semangat yang terus diperjuangkan meskipun banyak rintangan yang dihadapi.
Sukarno adalah contoh nyata dari seorang pemimpin yang memiliki mimpi besar, tetapi juga mampu menavigasi realitas politik dengan bijak.
Dalam setiap keputusan politiknya, kita melihat bagaimana id, ego, dan superego bekerja secara harmonis atau bahkan dalam ketegangan yang sehat, menghasilkan kepemimpinan yang kompleks namun inspiratif. Sukarno tidak hanya memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, tetapi juga memberikan visi tentang masa depan yang harus kita perjuangkan bersama.
Dalam hal ini, Sukarno mengajarkan kepada generasi penerus bahwa mimpi adalah komponen penting dalam membangun bangsa. Tanpa mimpi, kita hanya akan terjebak dalam rutinitas tanpa arah.
Namun, mimpi besar harus selalu disertai dengan ego yang mampu menavigasi tantangan-tantangan praktis, serta superego yang menjaga agar nilai-nilai moral dan kebangsaan tetap menjadi panduan utama.
Akhirnya, kita dapat melihat bahwa Sukarno, dengan segala dinamika psikologis yang ada dalam dirinya, tetap menjadi sumber inspirasi bagi bangsa ini.
Mimpinya untuk Indonesia yang besar dan kuat masih relevan hingga hari ini, dan semangatnya untuk terus bermimpi besar adalah warisan yang harus kita jaga dan perjuangkan.
Di tengah segala tantangan, mimpi-mimpi besar Sukarno terus hidup, memberikan arah dan tujuan bagi perjalanan bangsa ini ke depan. (*)