TAHUN 2024 mencatatkan diri sebagai saksi bisu yang menelan rasa malu kolektif kita, seiring terungkapnya angka 293 kasus perundungan yang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia, sebagaimana dilaporkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Angka ini bukan hanya deretan statistik semata, tetapi merupakan cermin kelam dari kegagalan kita sebagai masyarakat dalam menjaga dan melindungi anak-anak yang seharusnya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang penuh kasih dan perlindungan.
Angka ini tidak hanya mencengangkan, tetapi juga memukul kita dengan kenyataan pahit bahwa di balik pintu kelas yang tertutup, ada kekerasan yang berlangsung tanpa banyak perhatian.
Sekolah, yang seharusnya menjadi ruang perlindungan dan pengembangan, justru menjadi tempat bersembunyi bagi berbagai bentuk kekerasan, kekerasan fisik, verbal, dan bahkan psikologis. Sebuah ironi yang tak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Dalam banyak hal, kita sering melihat sekolah sebagai tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang. Namun, di balik wajah yang tampak damai tersebut, tersembunyi kekerasan yang menghancurkan mental dan fisik siswa.
Mereka yang menjadi korban perundungan tidak hanya menderita dalam diam, tetapi juga terperangkap dalam rasa malu, takut, dan rasa rendah diri yang menghantui mereka setiap hari.
Apa yang terjadi di balik pintu kelas ini adalah masalah yang jauh lebih besar dari sekadar perkelahian antar siswa. Ini adalah persoalan sistemik yang mencerminkan kegagalan kita sebagai masyarakat dalam melindungi generasi muda dari ancaman kekerasan.
Kekerasan yang Tak Tampak
Perundungan, yang sering kali kita anggap sebagai sesuatu yang "normal" dalam dunia remaja, adalah bentuk kekerasan yang begitu merusak. Tidak hanya fisik, perundungan verbal dan psikologis sering kali lebih sulit dikenali, tetapi dampaknya bisa lebih lama dan dalam.
Kata-kata yang menghina, ejekan yang berulang, atau pengucilan sosial bisa membuat korban merasa terisolasi dan kehilangan harga diri. Ini adalah bentuk kekerasan yang sulit dilihat, tetapi begitu nyata dalam dampaknya.
Ketika kekerasan terjadi di ruang fisik seperti perkelahian atau pemukulan, dampaknya mudah dikenali. Namun, ketika kekerasan terjadi dalam bentuk kata-kata yang menyakitkan atau pengucilan yang berkelanjutan, kita sering kali menganggapnya sebagai bagian dari "dinamika kehidupan sekolah”.
Padahal, kekerasan dalam bentuk ini lebih berbahaya karena ia menanamkan luka emosional yang sulit sembuh. Luka ini terkadang tertutup rapat di balik senyuman yang dipaksakan, tetapi dampaknya tetap menghantui.
Salah satu akar utama dari perundungan adalah ketimpangan kekuatan yang ada di dalam setiap hubungan antar individu.
Mereka yang memiliki kekuatan, baik karena status sosial, fisik, atau kecerdasan—sering kali memanfaatkan posisi tersebut untuk menindas mereka yang lebih lemah. Perundungan bukan hanya soal mengalahkan lawan, tetapi soal merendahkan dan menghancurkan harga diri orang lain.
Di sekolah, yang seharusnya menjadi tempat di mana semua siswa diperlakukan setara, ketimpangan ini justru menciptakan ketegangan dan kekerasan.
Ketika kekuatan digunakan untuk merendahkan, bukan mengangkat, maka itulah saat perundungan mulai tumbuh subur. Ketimpangan ini bisa berwujud dalam berbagai bentuk, dari fisik, seperti intimidasi dan pemukulan, hingga psikologis, seperti pengucilan sosial atau perundungan verbal.
Dalam situasi ini, sekolah seharusnya bertindak sebagai penyeimbang, menyediakan ruang bagi setiap siswa untuk merasa aman dan dihargai, terlepas dari kekuatan yang mereka miliki. Namun, kenyataan seringkali berbeda.
Sekolah: Tempat yang Seharusnya Melindungi
Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membentuk karakter dan moral, tetapi kenyataannya, sekolah sering kali gagal dalam hal ini.
Sekolah bukan hanya tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan dan empati seharusnya ditanamkan.
Namun, dalam banyak kasus, perhatian lebih banyak diberikan pada prestasi akademik, sementara pembentukan karakter dan pengembangan empati seringkali diabaikan.
Ini adalah kesalahan besar yang telah berkontribusi pada berkembangnya budaya perundungan di banyak sekolah.
Perundungan adalah masalah yang lebih besar dari sekadar perilaku beberapa siswa. Ini adalah cerminan dari kekurangan dalam sistem pendidikan kita yang gagal menanamkan nilai-nilai moral yang kuat.
Di banyak sekolah, perundungan dianggap sebagai hal yang "biasa" dan hanya dianggap sebagai bagian dari proses sosialisasi di kalangan remaja.
Namun, pandangan ini adalah kesalahan fatal yang justru memperparah situasi. Ketika perundungan dianggap wajar, maka kita akan terus membiarkan kekerasan berkembang tanpa adanya upaya untuk menghentikannya.
Perundungan terus terjadi karena kita sebagai masyarakat sering kali menganggapnya sebagai hal yang remeh. "Itu hanya perkelahian antar anak-anak," kata sebagian orang tua. "Mereka hanya sedang belajar hidup," ujar sebagian guru.
Anggapan seperti ini memperlihatkan betapa kita tidak memahami seriusnya dampak perundungan terhadap perkembangan psikologis anak-anak.
Perundungan bukan hanya soal fisik atau kata-kata yang menyakitkan, tetapi juga tentang penghinaan terhadap martabat seseorang.
Kekerasan verbal, yang sering kali dianggap ringan, dapat menyebabkan kerusakan yang sangat dalam. Pengucilan sosial, ejekan, dan hinaan yang berulang-ulang dapat membuat seorang anak merasa terasing, tidak dihargai, dan tidak diinginkan.
Ketika ini terjadi dalam jangka waktu panjang, dampaknya bisa sangat merusak bagi kepercayaan diri dan perkembangan mental mereka.
Namun, selama kita tidak menganggapnya serius, perundungan akan terus terjadi dan semakin memburuk.
Di era digital, perundungan telah menemukan bentuk baru yang lebih sulit dilacak dan lebih merusak. Media sosial, yang awalnya dirancang untuk mempermudah komunikasi, justru telah menjadi lahan subur bagi perundungan.
Bullying online, penyebaran rumor, dan penghinaaan di dunia maya memperburuk keadaan. Di dunia maya, tidak ada batasan fisik atau ruang untuk melindungi diri. Siswa yang menjadi korban perundungan online sering kali merasa terjebak tanpa jalan keluar.
Kekerasan di dunia maya ini tidak hanya membekas pada tubuh, tetapi juga pada pikiran dan perasaan.
Mereka yang dihina atau dijadikan target perundungan di media sosial sering kali tidak tahu harus berbuat apa.
Kejadian ini bisa berlanjut sepanjang waktu dan menjalar ke dunia nyata. Tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua dan pihak sekolah, perundungan online bisa menghancurkan kehidupan seorang siswa.
Sistem pendidikan kita terlalu berfokus pada pencapaian akademik dan mengabaikan pentingnya pengembangan karakter.
Siswa lebih sering dihargai berdasarkan nilai ujian dan prestasi akademik mereka, sementara kemampuan sosial dan empati mereka sering kali diabaikan.
Dalam kondisi seperti ini, kita tidak bisa berharap bahwa perundungan akan hilang dengan sendirinya. Pendidikan moral dan karakter harus dimasukkan dalam kurikulum dan dilaksanakan dengan serius.
Namun, perubahan tidak akan datang dengan mudah. Sistem yang sudah mapan ini harus diperbaiki secara menyeluruh.
Perundungan harus dihadapi dengan pendekatan yang lebih holistik, yang melibatkan tidak hanya guru dan sekolah, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Pendidikan karakter yang mengajarkan empati, toleransi, dan pengertian terhadap perbedaan harus menjadi fokus utama.
Solusi: Memulai dengan Perubahan Kecil
Perubahan besar tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari. Menurut James Clear dalam bukunya Atomic Habits (2018), perubahan besar diawali dengan langkah-langkah kecil yang konsisten.
Dalam konteks perundungan, kita harus mulai dengan membentuk kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari—baik di rumah, di sekolah, maupun dalam interaksi sosial.
Mengajarkan anak-anak untuk menghargai perasaan orang lain, untuk tidak mengejek atau merendahkan, akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih positif.
Sekolah harus menjadi contoh bagi masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif.
Sekolah tidak hanya mengajarkan pelajaran akademik, tetapi juga harus mengajarkan tentang hidup bersama dengan saling menghargai dan peduli terhadap sesama.
Menghentikan perundungan berarti menciptakan budaya yang menghargai setiap individu tanpa melihat kekuatan atau kelemahan mereka.
Keluarga juga memainkan peran penting dalam pencegahan perundungan. Orang tua adalah pahlawan pertama dalam membentuk karakter anak-anak mereka.
Jika orang tua lebih peduli terhadap perkembangan emosional dan sosial anak mereka, maka mereka dapat membantu anak-anak memahami betapa pentingnya empati, penghargaan terhadap orang lain, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Dialog yang terbuka antara orang tua dan anak sangat penting untuk mencegah perundungan. Orang tua yang aktif mendengarkan masalah anak-anak mereka dapat lebih cepat mengetahui jika ada masalah yang berkaitan dengan kekerasan atau perundungan.
Ketika orang tua menunjukkan kepedulian yang nyata, anak-anak akan merasa lebih dihargai dan lebih siap untuk menghadapi perundungan.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa perundungan adalah kekerasan yang tersembunyi di balik pintu kelas. Kita tidak bisa lagi membiarkannya berkembang tanpa tindakan nyata. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bersatu untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi setiap anak.
Dengan memperhatikan dampak perundungan, memperkuat pendidikan karakter, dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan sejak dini, kita dapat mencegah perundungan menjadi bagian yang semakin besar dalam kehidupan generasi mendatang.
Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang hilang untuk menyelamatkan anak-anak kita dari kekerasan yang tak terlihat, tetapi sangat merusak. (*)