JAKARTA, SP - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjawab anggapan dinasti politik terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan menyerahkan pada rakyat. Begitu pula Gibran Rakabuming Raka dinilai berlindung di balik pernyataan ‘serahkan pada rakyat’ saat merespons pencawapresan dirinya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah mengatakan pernyataan Jokowi tersebut hanya sekedar untuk menutupi pelanggaran konstitusi yang dilakukan di MK.
“Jokowi dan Gibran secara teknis benar, memang semua tergantung rakyat, hanya saja rakyat itu mereka tafsir sebatas kertas suara, dan kertas suara sepanjang kekuasaan oligarki memimpin, punya akses yang mendapatkan kertas suara lebih dulu sebelum sampai ke tangan rakyat yang sesungguhnya,” tegas Dedi di Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Belum lagi dengan kekuasaan yang dimiliki, Jokowi bisa saja ‘mengatur’ jalannya dan mempergunakan perangkat negara. “Belum lagi soal netralitas aparatur negara yang kian diragukan, artinya Gibran juga Jokowi pada dasarnya sedang mempermainkan konstitusi, mereka tidak memberikan jalan terbaik, tetapi memanfaatkan nama rakyat untuk memaksa mendapatkan legitimasi yang untungkan keduanya saja,” ujarnya.
Untuk itulah, perlu gerakan dari kalangan terpelajar untuk menghentikan gerakan oligarki Presiden Joko Widodo.
“Perlu ada gerakan kelas terpelajar untuk menghentikan gerakan oligarki Jokowi. Rakyat hanya menerima hasil, rakyat Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh rakyat penerima hasil, bukan rakyat yang menentukan hasil,” kata Dedi.
Gerakan oligarki Presiden Jokowi makin menjadi. Skandal "Mahkamah Keluarga", dimana sudah diputuskan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai pelanggaran etika berat dan kejahatan karena membiarkan intervensi pihak luar ke dalam proses pembuatan Putusan Nomor 90 Mahkamah Konstitusi, tentang syarat umur capres-cawapres.
Sejumlah aktivis demokrasi, pegiat hukum, tokoh nasional dan masyarakat sipil tidak henti menggugat oligarki, menjaga demokrasi. Gugatan yang terbaru adalah, mereka melaporkan pelanggaran administrasi kepada Badan Pengawas Pemilu RI.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani saluran hukum untuk gugatan tersebut sudah dikondisikan.
"MK-nya sudah dikondisikan, sehingga dia bisa menitipkan pesan dalam putusan yang sudah ada bahkan sebelum pemeriksaan,” kata Julius di Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Menurutnya, dalam konteks Pilpres 2024, yang diserahkan pada masyarakat itu sudah barang jadi. Jadi masyarakat diminta untuk mencoblos, menentukan pilihan, sementara hasilnya sudah dipastikan dan sudah dikondisikan siapa yang menang.
“Karena seluruh perangkat negara sudah dikondisikan untuk satu pemenang yang dikehendaki oleh Presiden Joko Widodo, makanya dia taruh anaknya di situ,” ungkapnya.
Orkestrasi Kekuasaan
Menurut Julius, isu pencawapresan Gibran Rakabuming Raka tidak lagi soal legitimasi dan keabsahan, karena semua sudah diputuskan Majelis Kehormatan MK.
“Ini soal orkestrasi lewat pelanggaran hukum, prosedural, dan pelanggaran etika dan moral publik karena ada nepotisme, dinasti yang menggunakan perangkat negara untuk merekayasa sehingga lahirlah putusan MK nomor 90 yang menjadi dasar bagi pencapresan Gibran,” tututnya.
Julius pun menyatakan pencawapresan Gibran sudah pasti pelanggaran hukum,pelanggaran prosedur, pelanggaran etika berat sudah pasti tidak terlegitimasi dan tidak sah, meskipun berlaku.
Pada titik ini, rakyat tidak punya pilihan lain selain memilih yang sudah dipilihkan. "Jadi bukan pemilih yang menentukan, karena pemilih memilih di lembar kertas. Tapi presiden Jokowi menciptakan sebuah rekayasa dengan segala kekuasaannya yang berujung pada kertas yang sudah ditentukannya juga. Artinya masyarakat disajikan pada pemilu yang rekayasa," pungkasnya.
Jerumuskan TNI/Polri
Guru Besar Politik, Ketahanan, dan Keamanan Universitas Padjadjaran (UNPAD) Muradi menilai netralitas TNI/Polri harus dijaga karena berkenaan dengan citra lembaga negara di hadapan publik.
"ASN, TNI, Polri, kemudian BIN itu harus berada dalam posisi yang menjaga jarak. Karena dalam konteks TNI/Polri mereka kan punya kultur komando, jiwa korsa yang pada akhirnya itu akan membuat tidak objektif di mata publik," tegas Muradi pada wartawan di Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Terkait pelibatan TNI/Polri dalam pemenangan salah satu paslon, Muradi menyampaikan bahwa para personil TNI/Polri pun menginginkan agar mereka bisa bekerja profesional.
"Itu kemudian yang menjadi diskursus di internal TNI/Polri. Karena kalau kita melihat, mereka menginginkan tentara yang profesional. Jadi kalau kita diskusi, tidak ingin mereka ditarik ke sana-sini," ujar Muradi yang juga mengajar di banyak lembaga pendidikan polisi dan tentara itu.
Muradi meneguhkan semangat internal TNI/Polri yang hanya ingin profesional. "Karena posisi mereka selalu mengatakan bahwa tentara profesional atau polisi profesional adalah tentara/polisi yang bisa menjalankan fungsi tugasnya secara objektif dan profesional," jelasnya.
Menurutnya, sikap profesional itu membuat lembaga mereka dapat berdiri tegak di kancah nasional maupun internasional. "Karena dengan sikap profesional itu mereka bisa lebih berdaya dan punya wibawa di mata publik dan internasional," ungkapnya.
Muradi menerangkan telah ada pernyataan terbuka dari petinggi TNI/Polri bahwa mereka netral dalam pemilu. Hal itu patut menjadi panduan bagi seluruh aparat. Kalaupun ada instruksi tertutup, Muradi menganggap hal itu sama dengan memundurkan lembaga negara itu.
"Apakah itu memang menjadi bagian dari strategi yang bersifat tertutup atau terbuka. Kalau tertutup, ya saya merasa tentara dan polisi kembali ke jaman purba. Jaman ketika mereka tidak lagi profesional," tegasnnya.
Potensi Perluasan Militer
Sementara itu, Pengamat Militer dari ISESS, Khairul Fahmi mengatakan, kekhawatiran bahwa calon presiden tertentu akan kembali memberikan peran sangat besar pada militer agak berlebihan.
“Saya kira kurang tepat jika kemudian kekhawatiran itu hanya dilekatkan pada Prabowo. Merujuk pada Presiden Jokowi hari ini yang notabene merupakan sosok sipil namun dinilai banyak pihak telah membuka jalan untuk perluasan peran militer,” kata Fahmi, Kamis (16/11). Hal itu tertuang dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN), bahwa Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri.
Kemudian dalam kaitannya dengan Pilpres 2024, saat ini ada sejumlah purnawirawan yang bergabung dalam tim pemenangan semua Capres-Cawapres. “Saya kira tidak ada garansi bahwa kandidat-kandidat lain tidak akan memberi peran besar pada militer. Faktanya, untuk pemenangan saja semua tim paslon diwarnai kehadiran tokoh-tokoh pensiunan jenderal TNI, “ kata Fahmi.
Menurut dia, kekhawatiran soal militer keluar dari barak itu ibarat lagu lama yang diputar berulang kali. Sejak Pemilu Presiden pertama kali digelar pada 2004, isu ini selalu dilekatkan pada kandidat yang berlatar belakang militer. Nyatanya, saat ini masih berlaku UU TNI yang membatasi kiprah dan pelibatan TNI di luar tugas pokoknya.
“Kalaupun ada perubahan di masa depan, saya kira itu hanya akan menyangkut akomodasi kementerian dan lembaga pemerintah yang karena urusan dan kewenangannya, membutuhkan prajurit TNI aktif, namun belum diatur oleh UU yang berlaku saat ini,” jelas Fahmi.
Lalu bicara tentang status keprajuritan, kita harus bisa membedakan aktivitas kelembagaan TNI beserta para prajurit aktifnya dengan kiprah politik purnawirawan.
“Para purnawirawan itu kan sebenarnya warga sipil. Begitu pensiun dari dinas militer, hak mereka untuk memilih dan dipilih telah dipulihkan,” tandasnya.
Berdasarkan catatan, di Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, ada 27 Purnawirawan TNI/Polri. Ganjar-Mahfud ada 5 Purnawirawan, dan Timnas Anies satu Purnawirawan sebagai ketua pemenangan. (nif)