PONTIANAK, SP - Warkah Tanah atau Dokumen Negara milik Ahli Waris Almarhum Ismail, seluas 402,5 meter persegi di kabupaten Sintang diduga dihilangkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar).
Syahrul Fitni, salah satu ahli waris tanah almarhum Ismail menceritakan, Warkah Tanah atau Dokumen Negara milik almarhum orang tuanya itu, dahulu dibeli kepada orang lain dan bersertifikat atas nama Atmiran pada tahun 1992.
"Dimana tanah tersebut sudah memiliki sertifikat Sertifikat proyeksi Operasi Nasional Agraria (PRONA) tahun 1984. Namun sebelum dibalikan nama, sertifikat tersebut dirampas oleh pihak lain dan datanya hilang dari arsip BPN Sintang," ujarnya saat mengadukan nasibnya ke Redaksi Suara Pemred, pada Rabu (8/4/2025).
Ia mengungkapkan berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24/M.1/1983 tanggal 30 November 1983 dan peta PRONA/Peta Situasi Nomor 10 yang disahkan oleh Gubernur pada 2 September 1983.Tanah tersebut berada dalam satu kesatuan dengan tanah yang bersertifikat PRONA tahun 1984.
"SK tersebut tertera didalam salinan sertifikat bernomor 2816 Suhairini - Tainoko dan 2477 Maruhum Purba-Suwardi ke dua salinan sertifikat tersebut satu SK dan satu baris dengan sertifikat saya," terang Syahrul.
Syahrul mengaku telah berupaya mendapatkan kembali warkah tanah tersebut melalui jalur hukum, termasuk mengajukan permohonan informasi ke Komisi Informasi Kalimantan Barat.
Dalam permohonan tersebut kemudian, komisi Informasi mengeluarkan Putusan Nomor 005/12/KIKALBAR-PS-PA/2022, yang mewajibkan BPN Sintang menyerahkan dokumen warkah tanah tersebut kepada kami.
Namun, hingga saat ini BPN Sintang tidak menyerahkannya dan menyatakan bahwa tidak ditemukan berdasarkan beberapa surat dari BPN.
"Padahal di dalam Putusan Komisi Informasi tersebut , tertera hubungan hukum terhadap tanah tersebut," terang Syahrul.
Syahrul menambah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN ) Pontianak telah menetapkan eksekusi atas putusan tersebut dengan Penetapan Nomor 01/PEN-EKS/2023/PTUN Pontianak , tetap saja BPN Sintang tidak menyerahkan warkah tanah tersebut.Sehingga menunjukkan adanya dugaan unsur kesengajaan dalam penghilangan dokumen negara.
Karena PTUN Pontianak tidak dapat menerbitkan putusan eksekusi karena BPN Sintang tidak menjalankan putusan sebelumnya.
"Maka PTUN memutuskan akan menyurati Presiden dan DPR RI guna meminta perhatian atas kasus ini,mengingat hal ini menunjukkan adanya indikasi pengabaian hukum yang dilakukan oleh BPN Sintang terhadap ahli waris yang sah," lanjut Syahrul.
Guna mencari keadilan hukum, Syahrul, mengungkapkan pihaknya juga pernah mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Sintang dengan Nomor Perkara 39/Pdt.G/2023/PN STG.
Dalam gugatan perdata tersebut,Majelis Hakim, dalam putusan sela menerima eksepsi tergugat bahwa perkara ini adalah kewenangan PTUN Pontianak.
Meskipun bukan wewenang Majelis Hakim Pengadilan Negri Sintang, tetapi dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan dengan tegas bahwa BPN Sintang telah menghilangkan warkah tanah milik Ahli Waris Almarhum Ismail dan tidak bertanggung jawab atas hal tersebut.
Perlu diketahui bahwa warkah tanah adalah dokumen negara yang wajib dijaga oleh BPN sebagai arsip “hidup” yang menjadi dasar kepemilikan tanah.
Dengan adanya Penghilangan warkah tanah, ini mengindikasikan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan/atau Pasal 374 KUHP tentang penggelapan," terang Syahrul.
Iapun mengungkapkan kembali,akibat hilangnya warkah tanah yang dilakukan pihak lain yang tidak berhak, telah menyerobot tanah mereka, menggunakan salinan sertifikat nomor 2816 atas nama Tainoko (dulunya atas nama Suhairini), yang dalam persilnya terdapat nama dan bersebelahan dengan tanah atas nama Atmiran yaitu tanah milik mereka.
"Adapun dugaan Penyerobotan Tanah oleh Ahli Waris Tainoko Theresia Ahin, tanah miliknya mereka (Syahrul), kini telah dikuasai oleh ahli waris Tainoko, yang hanya bermodalkan salinan sertifikat bernomor 02816 atas nama Tainoko yang menyatakan terdapat tanah saya bernama Admiran/Atmiran di peta persilnya dan bersebelahan," ujar Syaharul.
Syahrul menegaskan bahwa dirinya bersama keluarga lainnya yang juga memiliki hak yang sama atas tanah almarhum orang tuanya tidak pernah menjual, menyewakan, atau menghibahkan tanah tersebut kepada siapa pun.
Iapun menduga hilangnya warkah tanah mereka ,ada persekongkolan yang sengaja dilakukan oleh BPN dengan pihak penyerobot tanah.
“Untuk lokasi Tanah yang menjadi objek permasalahan ini berlokasi di Jalan PKP Mujahidin dan Jalan Lingkar Hutan Wisata, Kabupaten Sintang berdasarkan Peta PRONA/peta situasi nomor 10," terang Syahrul.
Syahrul kembali menambahkan akibat dari penghilangan warkah tanah dan tindakan penyerobotan ini, dirinya bersama Ahli waris lainya mengalami kerugian materiil dan immateriil yang sangat besar serta terhambat dalam pengurusan hak hukum atas tanah tersebut.
Di satu sisi, Dirinya juga menemukan BPN Sintang telah menggeser peta tanah di aplikasi Sentuh Tanahku, sehingga sertifikat ahli waris Tainoko yang seharusnya berada di tanah sebelah kini tampak berada di atas tanah miliknya
Padahal ungkapnya dirinya sendiri yang menjadi petunjuk titik patok tanah tersebut, pada saat dirinya dan pihak Kejaksaan melakukan pengecekan lapangan tertera di peta overlay yang dibuat BPN atas permohonan Kejaksaan Negeri Sintang bernomor R-35/0.1.12/DEK.4/08/2024 tanggal 24 Maret 2024 .
“Perihal Permohonan Pengecekan terhadap objek permasalahan laporan pada tanggal 13 Agustus 2024 Lalau. Tetapi pada saat itu, dibuat BPN penggeseran peta dan pembuatan NIB baru bernomor 05591 padahal sebelum pengecekan tidak terdapat peta yang di gambarkan di aplikasi sentuh tanahku," ujarnya.
Tidak sampai disitu dirinya juga menemukan indikasi kuat bahwa BPN Sintang telah melakukan manipulasi peta pertanahan untuk menguntungkan pihak tertentu dan merugikan kami sebagai pemilik sah tanah. Indikasi tersebut meliputi:
Penyerobotan tanah kami dilakukan oleh ahli waris Tainoko, yaitu Theresia Ahin dkk, yang hanya bermodalkan salinan sertifikat 2816 atas nama Tainoko. Padahal, sertifikat tersebut seharusnya berada di tanah sebelah (tengah), bukan di atas tanah kami (selatan).
Tanah milik kami, tanah bersertifikat 2816 atas nama Suhairini -Tainoko, dan tanah bersertifikat 2477 atas nama Maruhum Purba (yang telah dibeli oleh Suwardi) berasal dari satu SK yang sama, yaitu SK Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24/M.1/1983.
“Oleh karena itu, setiap perubahan peta atau kepemilikan tanah-tanah ini harus tetap mengacu pada SK tersebut dan tidak boleh dimanipulasi oleh BPN Sintang secara sepihak. Berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24/M.1/1983 tanggal 30 November 1983 dan peta PRONA/Peta Situasi Nomor 10 yang disahkan oleh Gubernur Kalimantan Barat pada 2 September 1983, tanah saya berada dalam satu kesatuan dengan tanah yang bersertifikat PRONA tahun 1984 dan posisinya di sudut antara dua jalan yaitu jalan PKP Mujahidin dan Jalan Lingkar Hutan Wisata," paparnya.
Syahrul Fitni, berharap agar kasus ini bisa terungkap kebenaran,dan meminta BPN Sintang menyerahkan data, nomor sertifikat, serta Warkah tanah yang ahli waris harapkan selama ini.
BPN Sintang Bungkam
Upaya konfirmasi ke Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Sintang, telah dilakukan beberapa kali oleh Suara Pemred. Baik melalui pesan singkat dan telepon via Whatsapp. Namun semua upaya ini tidak ditanggapi oleh Catur Widianti. (mar)
Pemerintah dan Aparat Diminta Bergerak Basmi Mafia Tanah di Kalbar
PENGAMAT Hukum dan Kebijakan Publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar, menyoroti kondisi pertanahan di Kalimantan Barat yang dinilainya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Menurutnya, praktik mafia tanah semakin merajalela dan telah menggurita di 14 kabupaten/kota di Kalbar, sementara penegakan hukum dinilai belum menunjukkan keseriusan.
“Kejaksaan Kalbar dan Polda Kalbar belum memperlihatkan langkah konkret dalam menindak mafia tanah. Upaya pemberantasan yang dilakukan masih sebatas ombak kecil, tanpa ada gebrakan berarti,” ujar Dr. Herman.
Ia juga menyoroti minimnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap persoalan ini. Padahal, mafia tanah merupakan ancaman serius bagi kesejahteraan masyarakat. Dampak ekonominya sangat besar, sebab lahan sebagai sumber daya ekonomi masyarakat justru dikuasai oleh mafia, membuat masyarakat kehilangan hak atas tanahnya sendiri.
“Akibatnya, masyarakat yang seharusnya dapat menikmati manfaat ekonomi dari tanah mereka justru terpaksa menjadi buruh di lahannya sendiri. Ini sangat menyedihkan, seperti mengulang kembali era kolonialisme dalam bentuk yang berbeda,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dr. Herman mengungkapkan bahwa isu mafia tanah semakin nyata dengan eskalasi yang terus meningkat. Praktik ini dilakukan secara sistematis dan terstruktur, melibatkan pihak-pihak yang memiliki wewenang dalam proses kepemilikan tanah.
“Tanah adalah sumber daya vital bagi masyarakat, khususnya warga pedesaan. Oleh karena itu, perlu ada langkah lebih tegas dan sistematis dari pemerintah daerah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta aparat penegak hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya telah memiliki pedoman untuk menangani masalah ini. Pada tahun 2018, Kementerian ATR/BPN menerbitkan petunjuk teknis tentang pencegahan dan pemberantasan mafia tanah. Namun, implementasi kebijakan ini masih belum menunjukkan hasil yang signifikan.
“Kejahatan mafia tanah tidak terjadi begitu saja. Ini melibatkan aktor-aktor dalam kelompok terstruktur dan jaringan besar yang menggerakkan kejahatan ini dalam skala luas,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa jika pemerintah daerah, BPN, dan aparat penegak hukum serius dalam memberantas mafia tanah, langkah-langkah yang harus diambil sebenarnya sudah sangat jelas.
Mekanisme perolehan hak kepemilikan lahan telah diatur, termasuk bagi perusahaan yang mengklaim memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Namun, dinas terkait dinilai masih bersikap pasif.
“Anehnya, dinas-dinas terkait diam seribu bahasa. Apa yang sebenarnya terjadi?” ujarnya dengan nada kritis.
Dr. Herman juga menyoroti faktor utama yang menyebabkan maraknya mafia tanah, yakni adanya konspirasi di berbagai tingkatan dan manipulasi data pertanahan oleh pihak tertentu. Hal ini mencerminkan mentalitas aparatur yang rendah, serta kurangnya evaluasi kinerja dari Kementerian ATR/BPN terhadap jajarannya.
Sebagai solusi, ia menekankan pentingnya edukasi bagi masyarakat agar dapat memanfaatkan lahan dengan benar dan tidak membiarkannya terbengkalai. Selain itu, ia mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas dalam menindak mafia tanah serta memberikan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku.
“Jika masalah ini terus dibiarkan, masyarakat yang seharusnya berdaulat atas tanahnya akan semakin terpinggirkan. Mafia tanah harus diberantas dengan tindakan hukum yang tegas dan nyata,” pungkasnya. (kal)