SINTANG, SP - Batas atas transaksi perdagangan di wilayah perbatasan yang diperbolehkan sebesar 600 Ringgit. Berlaku sejak 24 Agustus 1970, kesepakatan dalam pakta Border Trade Agreement (BTA) Indonesia-Malaysia ini, diusulkan agar berlaku pula hingga diluar kecamatan di daerah perbatasan.
Kebijakan memberikan besaran transaksi perbatasan akan mendorong munculnya kegiatan ekonomi baru di daerah perbatasan RI dengan Malaysia, juga dapat menekan kesenjangan ekonomi antara daerah perbatasan dengan daerah- daerah lainnya didalam kawasan.
Selain itu, kewenangan ini juga membantu masyarakat di perbatasan untuk mendapatkan langsung beberapa komoditas pokok seperti beras, gula, minyak goreng, dan gas, sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi mahalnya harga kebutuhan pokok di tapal batas, karena akses pasar terdekat dengan ibukota kecamatan atau ibukota kabupaten yang berpotensi mengeluarkan biaya tambahan, karena waktu tempuh dan jarak yang lebih jauh.
Walaupun sebagian pihak berpendapat, jika plafon transaksi 600 Ringgit tersebut harus direvisi untuk memperluas ruang gerak masyarakat perbatasan dalam melakukan kegiatan ekonomi. Namun, pendapat lain mengatakan perlu kehati-hatian dalam menentukan besaran batas transaksi perbatasan. Jangan sampai terlalu besar, sehingga menjadi celah untuk memasukkan barang dari Malaysia dengan jumlah yang besar, dan impor dari Malaysia justru melonjak.
Ireng Maulana, Pengamat Politik Kalbar mengatakan, terlepas dari perdebatan terkait batas plafon transaksi masyarakat perbatasan, kebijakan ini telah memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk berbelanja dengan kepastian nilai transaksi, dan sudah sangat membantu dalam menolong mereka mendapatkan bahan pokok lebih mudah, murah, legal, dan untuk mencegah penyelundupan.
“Misalnya PLBN di Badau Kabupaten Kapuas Hulu yang sudah memiliki Pusat Logistk Berikat Badau, dimana PLB memberikan kemudahan bagi pelintas batas untuk memenuhi kebutuhan pokok yang telah memegang identitas lintas batas berupa pas lintas batas (PLB) melalui PLBN,” ungkapnya.
Pas lintas batas diberikan kepada masyarakat perbatasan yang tidak jauh dari PLBN seperti masyarakat di Badau, Puring Kencana, Embaloh Hulu, Batang Lupar, dan Empanang. Sehingga warga bisa membeli bahan pokok sesuai plafon transaksi di PLB untuk kebutuhan sehari-hari, dan tidak perlu lagi berbelanja bahan pokok dari negara tetangga.
“PLB dapat mengakselerasai tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat diwilayah sekitar perbatasan,” ujar Ireng.
Melihat nilai strategis PLB di PLBN Badau Kapuas Hulu, maka Gubernur Kalimantan Barat lebih jauh menilai perlu adanya terobosan kebijakan lagi supaya fungsi pelayanan PLB Badau dapat diperluas juga untuk diperbolehkan melayani wilayah kecamatan diluar kecamatan perbatasan.
Misalkan diperbolehkan untuk melayani masyarakat ibukota Kabupaten Kapuas Hulu di Putussibau dan kecamatan sekitarnya, karena jarak tempuh dan akses masyarakat ke PLB di PLBN Badau lebih singkat, jika dibandingkan harus menunggu arus barang dari Pontianak yang memerlukan waktu lebih dari 10 jam untuk tiba di pusat ibukota kabupaten.
“PLB dapat menjadi instrumen yang menggerakan kegiatan ekonomi di Kapuas Hulu, bahkan untuk wilayah diluar kecamatan perbatasan, dan mendorong lahirya pusat ekonomi masyarakat, karena akses barang yang lebih dekat, terjangkau, mudah dan legal,” papar Ireng.
Sebelumnya, Gubernur Kalbar Sutarmidji pernah menyampaikan pendapatnya. Menurut Sutarmidji, jika peluang kebijakan semacam ini bisa menjadi exit strategy mengendalikan tingginya harga barang.
“Pemanfaatan fasilitas ini dapat menjadi upaya untuk mendorong perekonomian daerah yang akses, dan mobilitasnya terhadap barang yang sangat jauh,” katanya.
Dampak lain, mungkin akan dapat meminimalisasi terjadinya disparitas harga yang terlalu tinggi antara kecamatan perbatasan dengan kecamatan diluar perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu.
Namun, berdasarkan penjelasan Sekretaris Camat Ketungau Tengah bahwa praktik transaksi 600 Ringgit bagi masyarakat perbatasan Sungai Kelik Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang belum banyak diketahui dan dipahami.
“Selama ini masyarakat dapat berbelanja dan terbiasa berbelanja berdasarkan jumlah uang yang mereka miliki saja di negara tetangga,” kata Sekretaris Camat Ketungau Tengah.
Selain kemampuan untuk mengangkut barang yang dibeli dengan cara dipikul, kondisi ini lebih banyak disebabkan oleh PLBN Sungai Kelik yang masih belum dibangun, dan secara otomatis kebijakan-kebijakan operasional terkait perbatasan belum dapat diterapkan.
“Sehingga masyarakat diperbatasan Sungai Kelik dalam kegiatan ekonominya berjalan berdasarkan situasi alamiah transaksi jual beli,” ucapnya.
Sementara itu, Camat Ketungau Hulu, Jamhur mengungkapkan aktivitas PLB seperti di Badau atau Entikong belum akan terlaksana, karena masih akan menungu pembangun PLBN selesai.
“Setelah itu barulah mungkin akan didorong keberadaan PLB, sebagai fasilitas distribusi bahan pokok bagi masyarakat perbatasan,” katanya.
Sekretaris Badan Pengelola Perbatasan Daerah Kabupaten Sintang juga mengungkapkan, jika nilai transaksi 600 Ringgit di masyarakat perbatasan Sungai Kelik tidak diketahui masyarakat disana, karena kebijakan semacam ini baru akan benar-benar berjalan jika PLBN telah dibangun dan aktif beroperasi.
Sementara ini, Pemerintah Kabupaten Sintang terus mendesak pemerintah pusat untuk segera merealisasikan pembangun PLBN Sungai Kelik, termasuk infrastruktur pendukungnya.
Selain itu, dia juga mengharapkan lebih banyak lagi pihak diluar pemerintah Kabupaten Sintang yang mau ikut menyuarakan percepatan pembangunan PLBN Sungai Kelik, supaya wilayah perbatasan cepat maju dan masyarakat dapat menerima manfaat yang lebih baik lagi.(rls)