Sosok post authorKiwi 03 Juli 2021

Dana Kompensasi Korban Mandor Digunakan Bung Karno Bangun Jembatan Ampera Dikota Palembang

Photo of Dana Kompensasi Korban Mandor Digunakan Bung Karno Bangun Jembatan Ampera Dikota Palembang Santyoso Tio SH MH, Ketua Dewan Harian 45 Kalbar & Ahli Waris Korban Peristiwa Mandor

 

PERISTIWA Mandor atau dikenal dengan istilah Oto Sungkup (Mobil Penutup Kepala) adalah peristiwa massal, yang menurut catatan sejarah,  puncaknya terjadi pada 28 Juni 1944. Peristiwa Mandor ini dikenal pula dengan istilah Tragedi Mandor Berdarah, yakni  suatu kejadian tanpa batas etnis dan ras oleh Tentara Angkatan Laut Jepang (Kaigun).

Selama dua tahun sejak 1943, dilansir Suara Pemred dari Wikipedia, terjadi serentetan pemancungan oleh Tentara Dai Nippon.  Peristiwa Mandor adalah sebuah peristiwa kelam yang pernah terjadi di kawasan Mandor, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).

Dari data koran berbahasa Jepang di Kalimantan, Borneo Shimbun, sekitar 21.037 orang tewas dari berbagai suku, ras, bangsawan, dan sebagian korban berasal dari Kalimantan Timur dan Kalimatan Tengah, disembelih alias dipancung. Di antaranya, para raja di Kalbar termasuk Syarif Mohammad Alkadrie (Sultan Pontianak, 74 tahun), Pangeran Adipati (Putra Sultan Pontianak, 31 tahun). dan Pangeran Agung (26 tahun)

Menurut Santyoso Tio (ST) SH MH, Ketua Dewan Harian 45 Kalbar yang juga Ahli Waris Korban Peristiwa Mandor, peristiwa memilukan tersebut menjadi bukti sejarah bahwa rakyat Kalbar dari berbagai suku, agama, ras dan golongan, telah melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang.

"Peristiwa ini merupakan pembelajaran bahwa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), orang Kalbar sejak dulu telah bersatu," katanya, sebagaimana cuplikan wawancaranya dengan Patrick Waraney Sorongan dari Suara Pemred di Kota Pontianak,  Ibu Kota Kalbar, Kamis, 1 Juni 2021.

Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni  1944 sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat, melalui rapat paripurna DPRD Kalimantan Barat, merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor. Lantas, adakah upaya dari pihak Anda untuk menjadikan peristiwa memilukan ini, bukan hanya diperingati  oleh warga Kalbar,  melainkan secara nasional?

ST:  Belum ada pemikiran ke situ dari kami. Yang paling penting, bagamana  peristiwa ini menggugah nilai-nilai patriotisme orang Kalbar. Bahwa para korban, yang sebagian besar kaum elit, berasal dari semua agama dan etnis yang ada di Nusantara. Sebagian juga ada yang diangkut dari Kalteng dan Kaltim. Lewat peristiwa ini,  ada pembuktian sejarah, bahwa masyarakat di Kalbar dari berbagai strata dan agama, termasuk raja dan semua golongan, telah menjadi korban karena melawan pendudukan Jepang.  Ada juga yang dari Suku Minahasa (baca: Manado), Bali, Jawa, Sunda, selain tentunya Dayak, Melayu, Tionghoa. Jadi, Makam Juang Mandor mencerminkan persatuan dan NKRI. Sebab, di sinilah dimakamkan para korban dari seluruh suku atau etnis yang ada di nusantara. Dari peristiwa ini maka di Kalbar jangan ada masalah perbedaaan ras, suku, agama atau golongan.  Para leluluhur kita yang menjadi syuhada telah membuktikan bahwa patriotisme adalah di atas berbagai perbedaan itu. Jelasnya, kita semua adalah bersaudara, dan jenazah-jenazah orangtua kita sudah satu liang kubur.  Jangan lagi ada pihak-pihak yang coba-coba mengadudomba kita,  dan mencari-cari perbedaan di antara kita. Itu harus kita lawan. Semangat persatuan dan kesatuan yang berkobar di kalangan orang tua kita yang akhirnya gugur, harus menjadi kekuatan, dan tekat kita bersama untuk membangun masa depan NKRI yang lebih baik lagi ke depan.

Kompensasi Jepang bagi SDM di Kalbar 

Dalam kasus yang sangat berbeda, yakni jugun ianfu (wanita-wanita yang dijadikan budak seks di berbagai negara termasuk Indonesia), ada upaya Pemerintah  Jepang melakukan ganti rugi kepada keturunan para wanita ini. Begitu pula ganti rugi dari Pemerintah Belanda bagi para korban  pembantaian oleh tentara NICA (selama agresi I dan II di Indonesia, Red). Nah, dalam Peristiwa Mandor,  di mana Jepang telah membunuh  banyak warga serta elit-elit terhormat di Kalbar,  ornag-orang yang kita sayangi, maka sejauh mana pihak Anda memperjuangkan semacam ganti rugi bagi keluarga korban Mandor, tentunya lewat Pemerintah  Pusat di Jakarta?

ST: Waktu saya masih  sekolah dasar, tahun 1950-an, orang tua saya bersama teman-teman senasib, yang keluarganya jadi korban Mandor,. pernah membicarakan masalah ini (ganti rugi) dari Jepang,  dan menyebut-nyebut tentang 'pendaftaran'. Artinya, mendaftar terkait ganti rugi, semacam pampasan perang, tiap keluarga senilai 20 ribu dolar AS. Tapi, rupanya ini wacana, karena sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.

Mungkin ada masalah sehingga ganti rugi dari Jepang ini hanya menjadi semacam wacana?

ST: Ketika itu, setahu saya, adalah masa-masa yang sulit bagi negara kita, kala di era Presiden Bung Karno. Ada informasi, ganti rugi itu sudah diberikan kepada Bung Karno. Dananya digunakan untuk membangun Jembatan Ampera di Palembang (Kota Palembang, Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan, Red).

Sekarang ini, adakah  upaya sama yang sudah dilakukan pihak Anda

ST: Yang pasti, kita, orang Kalbar , telah  kehilangan banyak elitnya, dari raja, dokter, pengusaha, kepala sekolah, atau orang-orang terdidik. Termasuk dua datuk (kakek) saya, dari sebelah ayah dan ibu. Keduanya berpendidikan Belanda.  Pengaruhnya terasa hingga puluhan tahun ke depan, tepatnya sekarang ini. Contohnya, IPM di Kalbar cukup tertinggal secara nasional.

Setelah peristiwa memilukan itu, elit-elit kita yang masih hidup,  tinggal sedikit. Banyak yang sembunyi,  entah di mana. Raja Sultan Hamid sendiri,  sempat tak tahu di mana. Jadi,  selamatlah beliau.  Makanya,  berapa  kali kami berbicara dengan pihak Jepang, antara lain dengan Universitas Tokyo, yang juga sempat saya temui.

Saya pribadi tidak bicara soal dendam, tapi bangsa Jepang harus punya tanggung jawab moral. Jadi, saya menilai, bisa dilakukan kompensasi oleh Jepang, dengan mengakomodasi anak-anak Kalbar di bidang pendidikan atau magang bekerja di Jepang,  terkait peningkatan SDM kita.

Beberapa hari lalu, kami dari keluarga besar korban Mandor, menggelar Zoom, dengan melibatkan kalangan sejarawan di Jakarta. Kami sepakat bahwa Jepang sebagai bangsa, yang katanya  berjiwa samurai, berjiwa ksatria, seharusnya  gentleman, memberikan kompensasi ke Kalbar, dalam bentuk peningkatan SDM. Kan mereka datang ke Kalbar dengan membawa bendera nasionalnya,  Bendera Dai Nipon, dan bendera itu masih digunakan  sampai sekarang.

Kembali ke Peristiwa Mandor, bisa dikilas balik tentang peristiwa yang menimpa kedua kakek Anda?

Tentunya sangat berat. Andaikan  bom atom tidak dijatuhkan oleh pesawat-pesawat bomber Amerika Serikat di Pulau Hiroshima dan Nagazaki, tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, lebih banyak korban yang akan berjatuhan lagi di Kalbar, termasuk ayah saya, yang waktu itu maish berumur 14 tahun. Menurut ayah saya, Jepang waktu itu mulai mengincar pula kaum remaja.

Peristiwa itu, bagi keluarga besar saya, sangat membekas. Terutama kepedihan orang tua dan neneknya selama bertahun-tahun. Kakek saya, Tio Pia Cheng, meninggal dibunuh oleh Jepang saat berusia 34 tahun, masih enerjik, dan merupakan orang terkaya di Ketapang.

Kakek saya ditangkap oleh tentara Jepang, sehari setelah pulang rapat dari Pontianak bersama Raja Muhammad Saunan, Raja Ketapang. Raja Muhammad Saunan masih terhitung kerabat, masih sedarah  dengan kakek saya, walaupun sudah jauh.

Bisa dirinci penangkapan kakek Anda?Menurut ayah saya, penangkapan berlangsung di rumah, dinihari. Kakek saya disungkup, dan dijanjikan akan dilepas, asal menyerahkan semua perhiasan, tetapi ternyata bohong.  Betapa tidak, kemudian ada laporan dari anak buah kapal, bahwa ada sembilan tahanan termasuk kakek saya dan Raja Ketapang, yang sudah diangkut dengan kapal ke Pontianak. Mereka dimasukan ke dalam drum minyak, dan diletakan di palka kapal. Kemudian,  setelah Jepang menyerah, baru ketahuan bahwa  kakek saya telah dipenggal di Mandor. Kakek saya yang satunya lagi,  dari sebelah ibu,  Lim Bak Yong yang menjabat Lotay Ketapang, ditangkap pada gelombang ketiga. Dari pemberitaan koran Borneo Shimbun, dua puluhan ribu orang yang ditangkap dan dihukum mati itu adalah pemberontak. Dengan begitu banyaknya korban pembantaian Jepang itu, sama saja dengan genosida. Ada fakta dari temuan pihak Anda terkait  perbuatan keji Jepang itu?

ST: Benar, ini adalah genosida. Ada isu bahwa Jepang akan menjadikan Kalbar sebagai bagian dari negaranya, sehingga mereka terlebih dahulu melakukan  genosida.***

Jepang Jahanam Ini Dieksekusi dengan Tembakan ke Perut

DATA yang dilansir Suara Pemred dari Kajo Mag, terbitan Negara Bagian Serawak, Federasi Malaysia,  edisi 18 September 2019, para korban lain yang dipancung oleh Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang)  di wilayah Mandor, kini kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar),   28 Juni 1944, bukan hanya aktivis dan pejuang dari Nusantara selain dari Kalbar sendiri selama Perang Dunia II.

Terdapat  pula  warga Belanda, India, Eurasia, selain China  asal Kalbar selain  warga lain dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Beberapa sejarawan percaya,  jumlah korban adalah 21.037, catatan lain versi Jepang mengkalim, korban 'hanya' sekitar 1.000 orang.

Meskipun jumlah korban tewas resmi masih diperdebatkan, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa ratusan orang dibunuh oleh Kaigun Jepang pada hari itu.

Peristiwa Mandor sebenarnya adalah bagian dari dua pembantaian yang disebut Insiden Pontianak yang terjadi di Kalbar selama Pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Seluruh peristiwa itu terjadi pada 1943-1944,  ketika Jepang memutuskan untuk menangkap elit Melayu, Arab, Jawa, Dayak, Bugis, Batak, Menado, Belanda, China, India, dan Eurasia (Eropa-Asia) di Kalimantan.

Terlepas dari perbedaan ras, mereka yang ditangkap memiliki beberapa kesamaan. Mereka kebanyakan adalah tokoh masyarakat, intelektual dan terpelajar, pengacara, dokter, jurnalis, politisi, tokoh agama dan anggota kerajaan dari berbagai kesultanan di Kalimantan.

Menurut buku Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting oleh Tim Lindsey dan Helen Pausacker, pada Januari-Juni 1944, truk-truk mengangkut orang pada malam hari, baik dari rumah mereka maupun dari penjara. Mereka semua dibawa secara diam-diam ke Mandor, sebuah desa sepi yang terletak 95 kilometer timur laut Pontianak, kini Kota Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalbar.

Banyak yang tidak tahu bagaimana nasib orang-orang ini sampai awal Juli 1944. Surat kabar resmi lokal Jepang saat itu, Borneo Shimbun (edisi Pontianak) melaporkan bahwa mereka yang ditangkap, diadili dan dieksekusi pada 28 Juni 1944 di Mandor karena merencanakan untuk menggulingkan kekuasaan Jepang.

Jepang dilaporkan memenggal kepala mereka satu per satu sebelum mengubur mereka di sepuluh kuburan massal di hutan dekat desa. Sementara akun lain melaporkan,  mereka semua terkubur hidup-hidup di beberapa lubang besar. Sebagian besar mungkin lemah karena penyakit atau  penyakit lain setelah masa interniran,  dan terlalu lemah untuk berjuang keluar hidup-hidup dari lubang kubur.

Berapa Korban Sebenarnya

Pertanyaannya sekarang, masih dilansir dari Kajo Magadalah bagaimana angka 21.037 muncul? Lindsey dan Pausacker menulis bahwa angka 21.037 diduga tercatat dalam dokumen perang yang disimpan di perpustakaan universitas Jepang setelah Perang Dunia II.

Jumlah tersebut diduga terkait dengan penculikan, penyiksaan,  dan pembantaian oleh tentara Jepang di seluruh Pontianak, tidak hanya di Mandor. 

Berapa pun jumlah korban tewas yang sebenarnya, yang pasti Peristiwa Mandor merenggut nyawa hingga 25 bangsawan kesultanan Pontianak termasuk seprang sultannya yang berusia 74 tahun, Sharif Mohamed Alkadri. 

Orang Jepang menyebut  Sharif Mohamed Alkadri sebagai salah satu biang keladi dalam dugaan pemberontakan yang direncanakan. Jepang juga membunuh pewaris Sultan Sharif Mohamed Alkadri, yakni Pangeran Adipati yang berusia 31 tahun. 

Selain Sultan Pontianak, Jepang juga mengeksekusi Sultan Sambas, Ketapang, Soekadana, Simbang, Koeboe, Sanggau, Sekadau, Tajan, Singtan, dan Mempawa. Sayangnya, kronologi kematian mereka masih belum jelas.

Siapa Bertanggung Jawab?

Penulis Indonesia Syafaruddin Usman dan Isnawita Din menulis dalam buku Peristiwa Mandor Berdarah mengklaim bahwa Syuutizitiyo Minseibu bertanggung jawab atas Urusan Mandor. Tetapi, tidak ada catatan setelah Perang Dunia II jika dia pernah dianggap bertanggung jawab atas pembantaian itu. Namun, seseorang benar-benar membayar harga untuk Insiden Pontianak. 

Adalah Marquis Tadashige Daigo, Wakil Laksamana Marquis Tadashige Daigo di Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, yang  diekstradisi ke Batavia di Hindia Belanda, setelah berakhirnya Perang Dunia II.

Dia dinyatakan bersalah dalam pengadilan militer tertutup atas kejahatan yang terjadi selama Insiden Pontianak. Dia dieksekusi dengan tembakan senapan ke perut pada 6 Desember 1947.(Tim Suara Pemred)

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda