Sosok post authorKiwi 19 Juni 2021

Pandemi Ajarkan: Sistem Pendidikan Kita Salah!

Photo of Pandemi Ajarkan: Sistem Pendidikan Kita Salah! Prof Dr Chairil Effendy MS, Ketua Yayasan Universitas OSO

  

REVOLUSI  industri, nama kerennya Era 4.0, merupakan sebutan  untuk kondisi industri abad ke-21. Inilah sebutan tentang perubahan besar-besaran yang terjadi di berbagai bidang lewat perpaduan teknologi  yang telah mengurangi sekat-sekat antara dunia fisik, digital, dan biologi.

Revolusi ini telah ditandai dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, khususnya kecerdasan buatan, robot, blockchain, teknologi nano, komputer kuantum, bioteknologi, Internet of Things, percetakan 3D, dan kendaraan tanpa awak. Dibandingkan revolusi sebelumnya, menurut Prof Dr Chairil Effendy MS,  Ketua Yayasan Universitas Oesman Sapta Odang (OSO),  maka Era 4.0 berpotensi meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia.

Di era ini, dunia berubah sangat cepat di berbagai bidang, terakumulasi cepat, sehingga dunia pendidikan harus cepat menyesuaikan diri. "Dulu,  ada pepatah bahwa  pengalamanan  adalah guru yang terbaik. Kini,  boleh dikatakan,  pepatah itu tak berlaku lagi, karena perubahan terjadi sangat cepat setiap hari. Jadi, orang tak bisa lagi mengendapkan apa yang dialami  untuk menjadi sebuah pengalaman," kata Chairil Effendy (CE) di Kota Pontianak,  sebagaimana dirangkum Patrick Waraney Sorongan dari Suara Pemred, Kamis, 17 Juni 2021, berikut.

 Bagaimana Anda melihat cepatnya perubahan di era industri 2021 ini,  jika dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia di negara kita sekarang ini?

CE: Kita harus bisa berinteraksi dengan entitas global manapun. Tidak lagi terkungkung hanya berinteraksi dengan sesama kita sendiri, suku sendiri, atau juga entitas lokal. Di Kalimantan Barat,  misalnya, orang Dayak jangan hanya dengan sesama orang Dayak, orang Melayu dengan sesama orang Melayu, atau juga,  interaksi antara orang Dayak dengan orang Melayu. .

Beitu pula dengan dunia pendidikan. Di era Era 4.0,  anak didik harus terus menekuni bidang ilmunya,  sehingga bisa memiliki kemampuan yang tajam untuk menganalisa setiap masalah.  Pandemi Covid-19 telah memberi pelajaran yang sangat berarti bagi kita, bahwa sistem pendidikan yang selama ini diberlakukan oleh orang tua, keluarga, sekolah,  dan masyarakat, ternyata tidak berjalan begitu baik.

Padahal, pendidikan bukan semata tugas  pihak sekolah,  melainkan juga orang tua, dan masyarakat. Nanti setelah negara kita dilanda pandemi, barulah kita sadar,  bahwa selama ini orang tua sepenuhnya menyerahkan pendidikan ke pihak sekolah.

Ketika anak didik tidak bisa mengikuti pelajaran tatap muka langsung di sekolah, harus belajar  di rumah, maka banyak orang tua yang kewalahan. Mereka tidak mengerti, apalagi yang menyangkut substansi pelajaran-pelajaran terutama matematika,  fisika, atau kimia. Kalau ilmu-ilmu sosial,  masih okelah.

Indonesia Butuh Puluhan Tahun

Pergantian kurikulum pendidikan kerap terjadi di negara kita.  Apakah hal ini yang telah menjadi penyebab masalah sebagaimana yang Anda sebut tadi?

CE: Sebenarnya tidak juga. Pemerintah telah menyiapkan sistem pendidikan, di mana sistem yang diterapkan telah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Hanya saja, perubahan yang terjadi di Era 4.0, tidak mudah untuk diikuti.  Bangsa kita akan ketinggalan dengan banyak bangsa lain,  akibat terjadinya perubahan cepat di era ini. Apalagi jika kita lamban menyikapi era ini.   

Sangat ironis, jika kita membaca sebuah riset di Amerika Serikat, bahwa butuh waktu puluhan tahun bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara maju. Jadi, kita masih harus belajar keras.

Berarti,  pembentukan kualitas bangsa kita ini tak lepas dengan sejauh mana sistem pendidikan dasar yang diterapkan kepada anak-anak secara dini?

Benar, tentu saja semuanya berawal dari pendidikan dasar. Anak perlu mengaktualisasi dirinya, digali potensinya untuk dikembangkan hingga dewasa. Sayangnya, kita selama ini cenderung menyamaratakan kemampuan semua anak. Para rektor juga punya pandangan yang sama, dan mungkin hal ini terkait dengan kultur di masyarakat kita.

Makanya,  mungkin, dosen-dosen kita banyak yang mau enaknya. Kelas kuliah kerap terisi banyak mahasiswa, bahkan hingga 50-an orang. Akibatnya, perhatian  dosen untuk membimbing per mahasiswa,  tidaklah gampang.

Jadi, apa kira-kira solusinya?

Kita harus lebih belajar keras untuk menyikapi perubahan besar ini. Jadi,  kita mampu beradaptasi, dan mampu berinteraksi  dengan entitas manapun. Di sini,  bahasa sebagai media, sangatlah  penting,  dikaitkan dengan kemampuan ilmu masing-masing dalam melakukan analisis.  Kita juga harus punya social responsibility yang tinggi.  Jangan lepas tangam, apalagi cuek terhadap persoalan-persoalan  sosial. ke depan.

Jadi, hanya mereka yang berkarakter  yang akan mampu menghadapi tantangan yang keras ini. Kita bisa melakukannya dengan bekerja keras, dan  tentunya harus diserrtai dukungan kuat dari pemerintah.

Di era sekarang, ketika tidak ada lagi batasan-batasan fisik,  sangat mempengaruhi seseorang,  bahkan hingga ke tingkat aak-anak. Memang, boleh saja,  teknologi gadget misalnya, diperkenalkan kepada anak-anak, karena ini penting untuk menyikapi pendidikan mereka di masa depan.

Tapi syaratnya, harus dibarengi dengan edukasi dari ornag tua.  Artinya,  anak-anak tidak100 persen 'diserahkan' ke gadget. Mereka harus bisa diajak bermain tanpa gadget. Sekarang ini, jari-jemari anak kecil sudah pintar main gadget, juga berselancar di internet.

Sistem Pendidikan Kita tidak Merestruksi

Lantas, bagaimana  upaya menggali dan mengembangkan potensi anak sejak dini?

Sebenarnya, manusia adalah enterpreneur untuk dirinya sendiri.  Hanya saja, banyak orang yang tidak menyadari kemampuan itu,  sehingga dirinya tidak terdorong ke arah itu. Hal ini bisa dimaklumi, karena sistem pendidikan di negara kita,  cenderung menyamaratakan kemampuan semua anak didik, tidak merekonstruksi, tidak membangun keunikan atau kelebihan masing-masing anak.

Bahwa setiap orang memiliki kelebihan masing2, itu adalah karunia Tuhan.  Contohnya,  pemain sepakbola di Eropa, ada yang rambutnya  dikuncir, namun menjadi satu tim saat sudah berada di lapangan. Nah, ini berbeda dengan di negara kita,  di mana semua harus seragam, termasuk  pikiran juga harus seragam.  Jadi, harusnya, sistem pendidikan kita mengembangkan keunikan tiap anak,  sehingga kelak mereka  menjadi dirinya sendiri.

Dengan sistem pendidikan yang baik sebagaimana Anda  sebutkan tadi, bagaimana  penerapannya kepada aak-anak Anda?

Anak saya hanya dua, perempuam. Mereka sejak kecil sudah saya beri pemahaman agar mau belajar. Saya nda repot sebenarnya,  karena saya dan istri,  senang membaca. Kesibukan kami di rumah, lebih banyak di depan buku, atau koran, jarang di depan televisi. Jadi, anak-anak sejak kecil tak terbiasa menonton televisi apalagi  sinetron. Sesekali memang, sepintas-sepintaslah dan kalau saya, paling siaran olah raga.***

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda