Sosok post authorKiwi 20 Januari 2022

Upaya Een Meruntuhkan Stigma di Kampung Beting

Photo of Upaya Een Meruntuhkan Stigma di Kampung Beting Pangkalan penambang sampan di Kampung Beting, Pontianak Timur.

PONTIANAK, SP –Jam sudah hampir menunjukkan pukul setengah lima sore. Tapi, sepanjang pasar Tengah Pontianak hingga di pangkalan penambang sampan tetap saja ramai, meski sebagian toko sudah ada yang berkemas bahkan menutup pintu toko mereka.

Saya memarkir sepeda motor tepat di atas jembatan yang memungguk dalam jalan pasar itu. Dua orang tukang parkir terlihat mengamati kedatangan saya. Satu orang melempar senyum, atau bingung melihat saya yang tergesa-gesa. Entahlah, sulit saya bedakan. Sementara satunya lagi sedang sibuk menghisap dalam-dalam rokok yang hampir setengah terbakar. Keduanya, bersantai di bawah pondok yang mereka bangun untuk berteduh sembari menjaga lahan parkir mereka, tepat di ujung jembatan itu.

Di pangkalan penambang sampan itu, empat orang sudah menunggu kedatangan saya. Arni, Eko, Ilham, dan Gusti Hendra Rahmudin. Nama yang saya sebut terakhir itu sama sekali belum pernah saya temui sebelumnya. Kelak, dialah yang akan membawa kami berkeliling ke Kampung Beting. Seperti tourguide di tempat wisata, ia menjadi penunjuk arah dan pencerita, namun tentang upayanya merobohkan tebalnya dinding stigma dan streotip masyarakat di luar sana terhadap Kampung Beting, Pontianak Timur.   

Dua sampan bermotor sudah siap jalan mengantar penyebrang. Tapi satu di antaranya sudah penuh, lalu kami diarahkan oleh penjaga pos penambang untuk naik ke sampan yang lain.

“Hati-hati kepala,” terdengar suara dari arah belakang saat saya berusaha naik ke atas sampan setelah mengambil beberapa foto.

Memang, untuk naik ke sampan, kami harus menuruni beberapa anak tangga papan yang dibuat atas inisiatif  penambang. Pembangunan waterfront dengan promenadenya dari Kapuas Indah hingga Pelabuhan Senghie oleh Pemerintah Kota Pontianak saat ini membuat mereka harus pandai-pandai mencari cara agar tetap bekerja.

Saat kami datang, di penyebrangan itu masih tertancap beberapa tiang cerocok bekas pembangunan yang sengaja tak dicabut penambang sampan sebagai pegangan dan pengikat sampan mereka. Untuk melewatinya, kami harus menundukkan kepala agar tidak terbentur dengan tiang-tiang itu.

Tidak butuh waktu lama, kami sudah berada di seberang. Kedatangan kami disambut dengan puluhan sampan yang juga bejejer terparkir di bawah jembatan waterfont menunggu penumpang. Jika boleh jujur, ini adalah kali ketiga saya menginjakkan kaki ke Kampung Beting, Yang pertama dan kedua hanya sebatas Keraton Kadariah Pontianak.

Di perjalanan, saya membayangi Kampung Beting ini serupa film Districk 13 Ultimatum yang dibintangi David Belle dan kawan-kawannya itu. Lorong-lorong dipenuhi dengan coretan pilok, segerombolan orang berjejal memadati lorong tersebut dengan obrolan yang entah apa saja. Tembok-tembok yang runtuh dan tikus-tikus liar yang mondar-mandir di tengah serakan sampah plastik atau sisa makanan. Pikir saya, ini akan menarik dituliskan, dan celakanya pikiran saya tidak selalu benar.

Layaknya perkampungan di lain tempat, Kampung Beting pun begitu juga. Kedatangan kami disambut ramah dengan balasan senyum warga. Kamera canon mirroless yang saya tenteng sejak di ujung sana, tak dapat penolakan dari mereka. Seolah berkata “Silahkan ambil foto sebanyak-banyaknya, abadikan kampung kami”.

“Cuma di Beting yang orang tidak curiga dengan kita. Di tempat lain mana bisa, coba saja” kata Hendra memulai ceritanya kepada saya.

Hendra atau akrab dipanggil Een bukan asli dari Kampung Beting. Ia adalah pendatang dari Mempawah yang lahir dari keluarga berkecukupan, sebetulnya. Tapi, keluarga yang berkecukupan tidak selamanya mendatangkan kebahagian. Setidaknya begitulah yang dirasakan Een masa itu.

Tahun 2009 ia datang ke Pontianak mencari penghidupan baru setelah melewati masa-masa buruk. Perceraian, kehilangan anak, tiada pekerjaan, semua bersarang di tubuhnya.

Ya, di Pontianak sebenarnya dia tidak sendiri. Ada keluarga yang sebenarnya bisa kapan saja ia datangi untuk sekedar menumpang membujurkan badan. Tapi, kata Een ia tidak mau merepotkan oranglain.

 “Dan waktu itu rasanya tidak ada satupun orang yang mau membukakan pintu walau hanya menumpangkan saya baring,” katanya.

Kondisi itu membuat Een harus pandai-pandai membawa diri. Lalu, suatu waktu seorang kawan mengajaknya datang ke Kampung Beting karena suatu urusan. Sama seperti saya, kedatangan Een untuk pertamakali ke dalam Beting pun membuatnya was-was. Narkoba, minuman keras, pencuri dan pikiran buruk lainnya sudah sejak lama mengendap di kepalanya. Dan celakanya, pikiran Een tidak selalu benar.

Di sana ia justru disambut dengan keramahan. Orang-orang menerimanya seperti keluarga. Tidak ada kecurigaan, tidak ada pikiran buruk tentangnya. Bahkan seorang warga memberinya tumpangan dengan fasilitas maha mewah yang belum pernah ia dapatkan di luar sana, tidur di sofa.

“Saya tidak peduli dengan anggapan orang terhadap Beting. Saya tidak punya apa-apa. Di sinilah kami berkumpul, orang-orang yang tidak dianggap di luar sana. Di Betinglah yang mau menerima saya,” katanya lagi.

Sejak itu, ia mulai sering datang ke Beting. Satu per satu warga mengenalinya. Belakangan, ia berkenalan dengan seorang fotografer yang mengajarinya cara pengambilan objek, mengaplikasikan photoshop, bahkan meminjamkannya kamera Canon 1000D yang sampai saat ini masih disimpannya.

Hasil jepretannya itu ia abadikan ke akun facebook. Niatnya, agar masyarakat luas tahu bagaimana kondisi di dalam Beting. Bukan cuma stigma dan streotip saja. Kata Een, banyak yang merespon baik foto-fotonya itu, sebagian lagi merespon “Oh begini di dalam Beting”.

Mural, Layar Tancap dan Keriang Bandong

Hari semakin sore, Een membawa kami berkeliling. Menyusuri lorong selebar satu meter yang membelah puluhan wilayah di kampung ini. Rumah-rumah warga saling berhadapan, juga saling membelakangi. Cucian bergantungan dijemur warga di lantai dua rumah. Penampakan itu membawa ingatan saya ke rumah kost di Sepakat 2 yang dulu pernah saya tempati saat kuliah.

Di ujung pertigaan, Een yang berjalan di depan kami berbelok ke kiri. Di sana, kami bertemu dengan beberapa pemuda beradu layangan. Salah satu dari mereka terlihat menggulung benang atau justru menggulung kekalahannya. Tak jauh dari sana, anak-anak berlarian menuju masjid di ujung persimpangan.

Een sempat mengobrol dengan seorang warga di sana. Prediksi saya ada yang bertanya tentang kabarnya, sebelum akhirnya melanjutkan langkah. Kami berhenti di satu rumah yang dindingnya digambar empat wajah siswa, dua pasangan laki-laki perempuan dan sosok Walikota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono berpakaian teluk belanga yang memasang kuda-kuda seolah akan memimpin tarian Jepin.

Dinding rumah ini adalah projek Beting Street Art (BSA) pertama yang dibuat Een 2014 lalu. Mural itu menggantikan gerakan layar tancap Beting yang ia namai Bioskop Masuk Gang, dan hanya bertahan dua kali tayang lantaran kekurangan alat. Begitu juga dengan nasib Keriang Bandong, obor bambu yang menghiasi malam-malam kampung itu.

“Memang ramai yang nonton. Hanya capek, kalau hujan habis (selesai), dan nilainya tidak tersampaikan maknanya. Kemudian Keriang Bandong, tapi eventnya tidak membekas,” kata Een.

GSA ini muncul karena Een terinspirasi dari Geneng Street Art di Yogjakarta. Pengalaman itu ia dapatkan ketika masih kuliah di kota pelajar tersebut. Menurutnya, selama tidak dihapus, mural itu mampu menyimpan pesan propaganda sosial bahkan sampai bertahun-tahun.  

“Mural anak harus sekolah, dan nasihat. Kalau nasihat lisan, akan hilang. Tapi kalau ditempel di dinding, setiap hari mereka bisa lihat,” ujarnya.

Awalnya, Een hanya mengajak tiga orang perupa saja untuk melukis satu rumah. Belakangan justru banyak perupa berdatangan. Mereka kemudian melukis di gardu, tangga, bahkan menurut perhitungan Een hingga saat ini sudah ada 13 lokasi yang mereka lukis di Kampung Beting. 

“Perupa di Pontianak butuh tempat untuk menyalurkan hobi mereka, dan Beting menyediakan fasilitas itu, gratis,” ujarnya.

Diancam Bunuh

Kami kembali menyusuri jalan setapak yang dibangun kiri-kanan dan dipisah oleh lorong kecil. Di antaranya seorang bapak-bapak bertelanjang dada sibuk memperbaiki selang air di bawah jalan. Saya yang berada jauh di belakang Een, mempercepat langkah dan berjalan beriringan dengannya.

Een bercerita, setelah upayanya membuat GSA, Bioskop Masuk Gang, dan Keriang Bandong, ia kemudian memberdayakan ibu-ibu di Beting. Menurutnya, banyak potensi yang bisa diekplor di kampung ini, satu di antaranya adalah mengajarkan ibu-ibu membuat batik.

Bukan hal mudah memberdayakan ibu-ibu di sana. Een mesti berhadapan dengan intimidasi yang tidak main-main, diancam dibunuh. Padahal, Rumah Batik Beting yang dibuatnya sudah menunjukkan progres. Kelompok yang hanya berjumlah empat orang itu sudah menjual produknya, bahkan kunjungan dari sana sini silir berganti.

Ancaman ini bermula dari adanya sekolompok orang yang dianggap Een tidak senang dengan apa yang ia lakukan di Kampung Beting. Kelompok itu menilai apa yang dilakukan Een semata karena proyek, dan semestinya mereka yang pegang.

“Saya silahkan (ambil Rumah Batik Beting), tapi ibu-ibunya tak mau. Mereka maunya tetap saya,”katanya.

Tapi, sekeras-kerasnya batu tetap berbekas juga bila disiram air terus menerus. Begitu juga dengan Een. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan Rumah Batik Beting, dan bersembunyi sementara waktu.

Padahal, di waktu yang sama Een tengah mengusulkan Program Integrasi Pemberdayaan Berbasis Keluarga dari Yayasan Baitul Maal untuk warga Beting yang nilanya hampir Rp500 juta.

Pengunduran ini membuat semua terbengkalai. Rumah Batik Beting tutup pintu. Ibu-ibunya kembali beraktivitas seperti semula. Tidak ada kunjungan, tidak ada lagi pendapatan tambahan bagi mereka. 

Namun, Een masih menyimpan harapan besar untuk Kampung Beting. Setelah bertahun-tahun hilang, ia kini kembali lagi dengan membawa harapan baru bagi warga di sana.

“Harus ada perubahan untuk Beting. Stigma Beting ini menular. Bahkan banyak sekali yang menjadi korban stigma itu, dan kita tidak peduli,” kata Een sambil menyelesaikan rokok yang dihisapnya.

Azan magrib berkumandang dari berbagai penjuru. Een meminta izin melaksanakan ibadah tiga rakaat itu. Saya mengikuti langkahnya dari belakang sambil mengamati orang-orang yang setujuan dengannya. Warna-warni lampu hias yang dipasang sepanjang jembatan seperti kunang-kunang inggap berkelip, meramaikan pandangan saya.

Tapi, sebagus apapun tempat bila stigma dan steotip sudah terlanjur tumbuh di dalam kepala, tidak akan ada guna. Pandangan buruk itu akan tetap tumbuh subur seperti rumput liar di pekarangan rumah yang tak sengaja rutin ikut terpupuk dan disiram setiap pagi.  

Tapi, bukan tidak mungkin anggapan-anggapan itu dapat dicabut satu persatu dalam kepala. Bagaimana memulainya? Pertama-tama, siapkan saja uang Rp2 ribu di saku Anda, dan datanglah ke penyebrangan itu. Di sana Anda akan temui puluhan bahkan ratusan penambang sampan yang mengantri, siap membawa Anda menyebrang ke Kampung Beting. Begitulah saya memulainya. (suria mamansyah)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda