Sosok post authorPatrick Sorongan 23 Desember 2020

Sosok Sinterklas, Dongeng Natal yang Tak Perlu Dihapus

Photo of Sosok Sinterklas, Dongeng Natal yang Tak Perlu Dihapus Sinterklas yang berkereta ditarik rusa, dongeng yang tidak perlu dihapus dalam khasanah cerita jelang Natal.(Foto: Istimewa)

SINTERKLAS identik dengan kisah menjelang Natal bagi anak-anak di seluruh dunia: lelaki bertopi merah, berjanggut panjang putih yang mengendarai kereta rusa sambil membawa banyak hadiah. Sinterklas masuk diam-diam ke dalam rumah lewat cerobong asap memang hanya dongeng atau kisah legenda semata.

lantas, bagaimana cerita legenda Sinterklas yang sesungguhnya? Romo Deshi Ramadhani SJ, Imam Katolik dan Dosen Tafsir Kitab Suci Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menjelaskan, masyarakat Indonesia umumnya mengenal Santa Klaus atau Sinterklas sebagai kakek baik hati yang selalu memberikan hadiah kepada anak-anak di hari Natal. Santa Klaus akan memberikan hadiah kepada anak-anak yang berperilaku baik.

Namun, menurut Romo Deshi sebagaimana dilansir Ayahbunda, hal itu bukanlah semata-mata makna dari munculnya kisah Santa Klaus. Sebab, informasi tentang kebenaran asal muasal cerita Sinterklas tidak diberitakan secara resmi. Menurut Romo Deshi, kisah sesungguhnya adalah seorang Uskup, pemimpin gereja Katolik di Lycia, Turki yang hidup di abad IV bernama Nicholas. Uskup yang ramah ini suka menolong anak tidak mampu.

Legenda ini kemudian menyebar ke seluruh Eropa dengan ‘bumbu’ seperti kereta rusa terbang. “Makna memberi kepada kaum miskin atau tidak mampulah yang sebenarnya ingin diangkat dari legenda Sinterklas,” terang Romo Deshi. Namun, sebagian orang tua menganggap legenda Sinterklas bisa membuat anak terus berhalusinasi dan mendambakan hadiah dari Santa Klaus. Lantas, haruskan dongeng Sinterklas dihapus dari pikiran anak-anak? Menanggapi hal ini, Romo Deshi sebagai pemuka agama tidak mempersoalkan bila legenda Natal ini dihapus. Karena Santa Klaus sebagai tokoh pelengkap Natal tidak berdampak besar untuk anak-anak penganut Kristiani dalam mengimani makna Natal. Hal ini dnilai sama halnya seperti menghias pohon Natal atau membuat dan mengirim kartu Natal sebagai bentuk kebersamaan merayakan hari raya.

“Kepercayaan seseorang terhadap Santa Klaus akan menghilang seiring bertambahnya usia, sedangkan memaknai Natal dengan kebersamaan tidak akan hilang,” ungkap Romo Deshi. Hingga saat ini belum ada penelitian yang menyimpulkan adanya pengaruh negatif dari dongeng. Sesuatu yang negatif tidak akan muncul dari sebuah dongeng, bila orang tua menyampaikannya secara wajar. Menurut Psikolog Anak, Anna Surti Ariani S.PSI, anak usia batita dua-tiga tahun akan puas mendapat jawaban singkat tentang Sinterklas. Tapi, anak usia tiga-empat tahun punya keahlian bertanya seperti seorang wartawan. Ia akan bertanya lebih detil dan mendesak tentang Sinterklas. “Dan tugas orang tua untuk menyediakan jawaban atas pertanyaanya,” terang Nina. Sebelum usia tiga tahun, Nina menyarankan untuk tidak ‘memanjakan’ anak dengan cerita Sinterklas. Boleh sesekali bercerita, namun sambil menekankan bahwa Sinterklas hanya tokoh rekaan, sama halnya dengan tokoh-tokoh khayalan di buku dongeng lainnya.(Patrick WS/Ayahbunda/Berbagai Sumber)

Keywords

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda