PONTIANAK, SP - Kerukunan Keluarga Kawanua (K3) Provinsi Kalimantan Barat bakal menggelar Peringatan HUT ke-31 Dr Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal sebagai Sam Ratulangi.
Pahlawan Nasional asal Minahasa dari Provinsi Sulawesi Utara. Acara dijadwalkan digelar di Rumah Radank, Kota Pontianak, Ibukota Kalbar, Sabtu, 6 November 2021.
"Hanya di Kalbar ada peringatan ini, bahkan di Provinsi Sulawesi Utara, tempat kelahiran Dr Sam Ratulangi, acara ini tidak pernah digelar khusus," kata Tonaas Minahasa Daniel Tangkau, kepada Suara Pemred di Pontianak, Jumat, 29 Oktober 2021.
Berlangsung di rumah adat besar Suku Dayak, peringatan milad Sam Ratulangi dipastikan akan dihadiri oleh seluruhw arga Kawanua (sebutan untuk warga Minahasa) dari seluruh wilayah Kalbar.
Sebagian besar warga ini sudah merupakan lahir di Kalbar atau lahir dari asimilasi pernikahan antgara lelai Minahasa dan suku-suku di Kalbar.
Di Kalbar, warga Minahasa awalnya merantau sebagai karena tuntutan pekerjaan yang umumnya adalah tentara, polisi dan pelaut. Belakangan, karena kala itu sulitnyya transportasi laut dari dan ke Manado, Ibukota Sulut, ditambah belum adanya penerbangan, maka banyak warga Kawanua yang menikahi wanita non-Kawanua, terutama dari kalangan warga Suku Dayak.
Menurut Tangkau, pengacara yang juga bergelar adat sebagai Tonaas Minahasa atau 'tou (orang) yang dituakan', acara ini juga akan dihadiri jajaran Pengurus Pusat K3 Jakarta. Bahkan jika perlu, sejumlah kesneian Minahasa, semisal Maengket, Katrili, atau tarian perang Kawasaran atau Kabasaran akan dihadirkan.
Senada itu, Sekretaris Panitia Peringatan HUT ke-131 Sam Ratulangi, Octavianus William Hendrik Singgeta mengakui, beberapa kegiatan tersebut terus dimatangkan. "Rencananya juga akan dihadiri langsung DPP K3," katanya.
Sekilas tentang Dr Sam Ratulangi
Lahir di Tondano, Minahasa, Hindia Belanda, 5 November 1890, Sam Ratulangi pada Juni 1937 menerbitkan buku berjudul Indonesia in de Pacific (Indonesia di Pasifik). Dilansir dari Wikipedia, isi buku ini visioner: Sam Ratulangi memperingatkan terhadap militerisasi Jepang, dan meramalkan kemungkinan bahwa Jepang akan menyerang kepulauan Indonesia karena sumber daya alamnya yang tidak dimiliki Jepang.
Sam Ratulangi menggambarkan peran utama Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara di sekitar Lingkar Pasifik dapat 'bermain' di mana Samudra Pasifik bisa menyamai pentingnya Samudra Atlantik. Belakangan, visi ini terwujud lewat pembentukan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
Sam Ratulangi adalah seorang politikus, jurnalis, dan guru yang juga dijuluki sebagai tokoh multidimensi.
Meninggal pada 30 Juni 1949 dalam usia 58 tahun di Jakarta, Sam Ratulangi dimakamkan di kampung halamannya di Tondano, kini Ibukota Kabupaten Minahasa, kabupaten induk yang sudah dimekarkan menjadi lima daerah otonomi baru: Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Kabupaten Minhasa Selatan (Minsel), Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), dan Kota Tomohonj.
Anak pasangan Jozias Ratulangi dan Augustina Gerungan yang juga paman dari aktris Rima Melati ini dikenal dengan filsafatnya: Si tou timou tumou tou. Artinya: 'Manusia baru bisa disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia'.
Suami dari Emilie Suzanne Houtman dan Maria Catharina Josephine Tambajong ini pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menghasilkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, dan juga Gubernur Sulut pertama.
Kehidupan Awal
Jozias,, ayah Sam Ratulangi, adalah seorang guru di Hoofden School (sekolah menengah untuk anak-anak dari kepala-kepala desa) di Tondano, yang menerima pelatihan guru di Haarlem, Belanda pada 1880. Sedangkan ibunya, Augustina, adalah putri dari Jacob Gerungan, Kepala Distrik (Mayoor ) Tondano-Touliang, suatu wilayah di kawasan 'orang danau'.
Sam Ratulangi mengawali pendidikan di sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School), lalu melanjutkannya di Hoofden School, keduanya di Tondano.
Pada 1904, Sam ratulangi berangkat ke Jawa untuk masuk Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) setelah menerima beasiswa dari sekolah tersebut.
Namun, sesampainya di Batavia (sekarang Jakarta), Sam Ratulangi berubah pikiran, dan memutuskan untuk belajar di sekolah menengah teknik Koningin Wilhelmina, dan lulus pada 1908, kemudian bekerja di proyek konstruksi rel kereta api di daerah Priangan selatan, Jawa Barat.
Di sana, Sam Ratulangi mengalami perlakuan yang tidak adil dalam hal upah dan penginapan karyawan dibandingkan dengan karyawan Indo (Eurasia).
Pada 1911, Sam Ratulangi kembali ke Minahasa, karena ibunya sakit parah. Ibunya meninggal pada 19 November 1911. Ayahnya sudah meninggal waktu Sam Ratulangi berada di Jawa.
Setelah kematian ibu mereka, Sam Ratulangi dan kedua saudara perempuannya membagi warisan orang tua. Sam Ratulangi berencana menggunakan uang warisan untuk membiayai pendidikannya di Erop, dan tiba di Amsterdam pada 1912.
Sam Ratulangi kemudian melanjutkan studinya yang dimulainya di Jawa, tetapi tidak selesai karena sakit ibunya. Pada 1913, Sam Ratulangi menerima sertifikat untuk mengajar matematika di tingkat sekolah menengah (Middelbare Acte Wiskunde en Paedagogiek).
Sam Ratulangi melanjutkan studinya di universitas di Amsterdam selama dua tahun lagi, namun tidak dapat menyelesaikan studinya karenatidak diperbolehkan mengikuti ujian.
Aturan dari universitas mengharuskan Sam Ratulangi memiliki sertifikat tingkat SMA. Sertifikat tersebut tidak dimilikinya karena tidak pernah menyelesaikan studi di Hogere Burgerschool (HBS) atau Algemene Middelbare School (AMS).
Atas saran Mr Abendanon, seorang Belanda yang bersimpati kepada orang-orang dari Indonesia (yang ketika itu disebut Hindia), Sam Ratulangi mendaftarkan diri, dan diterima di Universitas Zurich di Swiss.
Pada 1919, Sam Ratulangi memperoleh gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr Phil.) untuk Ilmu Pasti dan Ilmu Alam dari universitas tersebut.
Aktivis Nasional
Selama berada di Amsterdam, Sam Ratulangi sering bertemu dengan Sosro Kartono (saudara RA Kartini) dan tiga pendiri National Indische Partij, Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat.
Ratulangi juga aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging), dan terpilih sebagai ketua Perhimpunan Indonesia pada 1914.
Selama masa kepemimpinannya, Sam Ratulangi mengundang pembicara-pembicara yang bersimpati pada perjuangan Indonesia. Di antaranya, Conrad Theodore van Deventer dan Jacques Henrij Abendanon.
Di Swiss, Sam Ratulangi aktif di Asosiasi Mahasiswa Asia (Associations d'étudiants asiatiques) kemudian bertemu Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India.
Sam Ratulangi juga aktif dalam menulis artikel-artikel. Dalam satu artikelnya berjudul Sarekat Islam yang diterbitkan di Onze Kolonien (1913), Sam Ratulangi menulis tentang pertumbuhan koperasi pedagang lokal Sarekat Islam, dan juga memuji gerakan Boedi Oetomo di Indonesia.
Menjelang akhir artikel, Sam Ratulangi menulis: Sejarah tidak memiliki catatan tentang bangsa yang dijajah selamanya. Diharapkan bahwa pemisahan yang tak terelakkan (Hindia dan Belanda) akan berlangsung secara damai, yang seharusnya akan memungkinkan interaksi yang baik dari unsur-unsur budaya antara Hindia dan Belanda, yang telah terjalin selama berabad-abad dalam sejarah, bisa dilanjutkan.
Kembali ke Indonesia
Sekembalinya ke Indonesia pada 1919, Sam Ratulangi pindah ke Yogyakarta untuk mengajar matematika dan sains di sekolah teknik Prinses Juliana School.
Setelah tiga tahun mengajar, pindah ke Bandung, dan memulai perusahaan asuransi Assurantie Maatschappij Indonesia dengan Roland Tumbelaka, seorang dokter yang juga berasal dari Minahasa.
Ini adalah contoh pertama yang diketahui dari kata 'Indonesia' yang digunakan dalam dokumen resmi. Ada yang mencatat bahwa Soekarno pertama kali bertemu Sam Ratulangi ketika Proklamator ini mengunjungi Bandung untuk sebuah konferensi.
Soekarno kemudian melihat nama perusahaan Ratulangi dengan kata 'Indonesia'. Karena penasaran, Sokarno ingin bertemu dengan pemilik usaha ini kemudian bertemu dengan Sam Ratulangi.
Pada 1923, Sam Ratulangi dicalonkan oleh Partai Perserikatan Minahasa untuk menjadi sekretaris Badan Perwakilan Daerah Minahasa di Manado (Minahasa Raad), kemudian memegang posisi ini pada 1924- 1927.
Selama di Minahasa Raad, Sam Ratulangi memperjuangkan hak-hak yang lebih banyak untuk orang-orang Minahasa. Sam Ratulangi secara luas dikreditkan dengan membuat Pemerintah Kolonial Belanda menghapuskan kerja paksa (Herendiensten) di Minahasa.
Sam Ratulangi juga berperan dalam pembukaan daerah Modoinding dan Kanarom di Minahasa Selatan untuk transmigrasi, dan pembentukan yayasan untuk membiayai pendidikan siswa-siswa yang membutuhkan.
Pada 16 Agustus 1927, Sam Ratulangi dan R Tumbelaka memulai partai Persatuan Minahasa. Ketika itu, keanggotaan Perserikatan Minahasa termasuk orang-orang sipil dan militer. Beberapa anggota militer memberontak melawan Belanda.
Karena tindakan itu, mereka dilarang untuk berpartisipasi dalam organisasi politik. Sam Ratulangi dan Tumbelaka memutuskan untuk membentuk partai baru, Persatuan Minahasa, yang hanya memiliki anggota sipil.
Keberadaan partai ini, yang mewakili suatu wilayah di Sulawesi, memberikan identitas lokal kepada anggota-anggotanya, tetapi juga mempunyai tujuan untuk mempromosikan persatuan secara nasional. Partai ini 'menyerukan solidaritas semua kelompok penduduk Indonesia.
Pada 1939, Persatuan Minahasa menjadi salah satu partai politik yang membentuk Gabungan Politik Indonesia. Partai-partai lainnya adalah Gerindo, Parindra, Pasundan, PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), dan PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia).
Anggota Volksraad
Sam Ratulangi diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) pada 1927 untuk mewakili rakyat di Minahasa. Dia terus mengusik hak-hak rakyat dan mendukung nasionalisme Indonesia dengan menjadi anggota Fraksi Kebangsaan yang dimulai oleh Mohammad Husni Thamrin.
Sam Raulangi juga adalah salah satu sponsor dari Petisi Soetardjo, yang menyatakan keinginan untuk sebuah negara merdeka melalui reformasi bertahap dalam waktu sepuluh tahun.
Petisi ini melewati Volksraad, tetapi tidak diterima oleh pemerintah kolonial.
Tanggapan terhadap petisi inilah yang memprakarsai pembentukan GAPI.
Sam Ratulangi tidak ragu untuk mengkritik pemerintah kolonial, dan akhirnya dianggap sebagai risiko bagi mereka.
Dia terus melayani di Volksraad hingga 1937, ketika ditangkap karena pandangan politiknya, kemudian dipenjara beberapa bulan di Sukamiskin, Bandung.
Pada 1932, Sam Ratulangi adalah salah satu pendiri Persatuan Cendekiwan Indonesia (Vereniging van Indonesische Academici).
Dia juga termasuk dalam kelompok pemimpin gereja dan nasionalis (termasuk di antaranya BW Lapian dan AA Maramis) yang menginginkan sebuah denominasi gereja yang bebas dan terpisah dari lembaga gereja resmi Hindia Belanda yang disebut Protestantsche Kerk di Nederlandsch-Indie atau Indische Kerk.
Pada Maret 1933, Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) didirikan.
Setelah dibebaskan dari penjara pada 1938, Sam Ratulangi menjadi editor Nationale Commentaren, sebuah majalah berita berbahasa Belanda. Dia menggunakan majalah ini untuk menulis pendapat-pendapat yang menentang tindakan tidak adil pemerintah kolonial, dan juga untuk membuat sesama orang Indonesia sadar akan keadaan saat itu.
Pelanggan majalah itu termasuk kantor Perdana Menteri Belanda, Kementerian Kolonial Belanda, dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Pendudukan Jepang
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, pada 20 Maret 1942, pihak Jepang melarang segala jenis kegiatan politik di Indonesia. Karena semua organisasi politik dibubarkan, Sam Ratulangi berpartisipasi dalam upaya bantuan keluarga tentara kolonial Belanda (KNIL).
Pada 1943, Ratulangi ditugaskan sebagai penasihat untuk pemerintah militer pendudukan. Pada 1944,dipindahkan ke Sulawesi Selatan untuk menjadi penasihat pemerintah militer di Makassar, yang juga termasuk wilayah timur yang dikendalikan oleh Angkatan Laut Jepang.
Pada Juni 1945, Sam Ratulangi mendirikan sebuah organisasi bernama Sumber Darah Rakyat (SUDARA). Dia menggunakan organisasi ini untuk membangkitkan sentimen nasionalis di Sulawesi dalam mengantisipasi kemungkinan kemerdekaan dalam waktu dekat.
Pada awal Agustus 1945, Sam Ratulangi diangkat sebagai salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mewakili Sulawesi Ketika Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, Sam Ratulangi hadir dalam upacara tersebut karena baru saja tiba di Batavia bersama para anggota PPKI lainnya dari wilayah timur untuk mengikuti rapat PPKI.
Rapat PPKI yang diadakan pada hari berikutnya menghasilkan UUD RI, dan pengangkatan secara aklamasi Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Rapat-rapat itu juga membagi Indonesia ke dalam wilayah-wilayah administratif di mana Sam Ratulangi diangkat menjadi Gubernur Sulawesi.
Menjabat Gubernur Sulawesi
Setelah kembali ke Makassar dan secara resmi mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan RI, Sam Ratulangi dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Jepang pada awalnya belum siap menyerahkan senjata mereka.
Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Australia Ivan Dougherty tiba pada September 1945. Dougherty ditunjuk sebagai Gubernur Militer oleh pimpinan Sekutu.
Kedatangannya mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah sipil Hindia Belanda (NICA) dan KNIL, yang siap untuk mengambil alih daerah Hindia Belanda seperti sebelum perang.
Dengan masuknya semua orang-orang asing tersebut, para pemuda di Sulawesi bersiap untuk berjuang dengan segala cara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia
Bersamaan dengan ini, Sam Ratulangi menerima dukungan dari raja-raja adat termasuk dari Kesultanan Bone dan Kedatuan Luwu yang menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia yang baru.
Sam Ratulangi mampu mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak terkait dalam upaya menjaga perdamaian, tetapi keadaan damai hanya bertahan selama dua bulan. Dia mampu membentuk pemerintah daerah yang beroperasi selama sembilan bulan.
Pada 5 April 1946, Sam Ratulangi dan beberapa stafnya diambil dari rumah mereka, dan ditahan oleh polisi militer Belanda. Mereka dipenjara selama tiga bulan, kemudian diasingkan ke Pulau Serui di Kepulauan Yapen, Papua Barat.
Sam Ratulangi diasingkan ke Serui bersama enam stafnya dan keluarga mereka: Josef Latumahina, Lanto Daeng Pasewang, Willem Sumampouw Tanod 'Wim' Pondaag, Suwarno, IP Lumban Tobing, dan Intje Saleh Daeng Tompo.
Di Serui, mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat dengan mendirikan sekolah lokal dan organisasi sosial untuk membantu para wanita dalam komunitas. Secara politik, Sam Ratulangi terlibat dalam pembentukan Partai Kemerdekaan Irian Indonesia yang dipimpin oleh Silas Papare dengan dirinya sebagai penasihat.
Kembali dari Pengasingan dan Wafat
Pada 23 Maret 1948, setelah penandatanganan Perjanjian Renville, Belanda melepaskan Sam Ratulangi dan rekan-rekannya.
Mereka dipindahkan ke Surabaya kemudian dikawal ke garis demarkasi di dekat Mojokerto dan Jombang di mana mereka menuju ke ibu kota republik di Yogyakarta.
Mereka disambut dengan hangat oleh masyarakat di Yogyakarta, dan sebuah acara penyambutan diadakan oleh Soekarno. Sam Ratulangi ditunjuk sebagai penasihat khusus untuk Pemerintah Indonesia, dan anggota delegasi Indonesia dalam negosiasi dengan Belanda.
Sam Raulangi juga mengunjungi pasukan di Jawa Timur, dan menghadiri konferensi keuangan di Kaliurang. Sekitar waktu ini, dia sudah mulai mengalami masalah kesehatan.
Pada 10 November 1948, sebuah manifesto diumumkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) yang mendesak rakyat Indonesia di bagian timur yang berada di bawah kendali Belanda untuk menjaga persatuan mereka dengan Republik Indonesia, agar suatu hari Indonesia secara sepenuhnya akan menjadi merdeka.
Manifesto ini disebut Manifes Ratulangie atau Manifes Djokja. Yang ikut menandatangani manifesto ini adalah TST: Diapari, I Gusti Ketut Pudja, Pangeran Muhammad Noor, WST. Pondaag, dan Sukarjo Wiryopranoto.
Titik pertama dari manifesto ini berbunyi: Bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Republik Indonesia tidak hanya mengenai kepentingan lahir dan batin bagi bangsa Indonesia, yang tergabung dalam Republik Indonesia, akan tetapi juga meliputi kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia seluruhnya, serta pengakuan hak dasar rakyat itu untuk hidup bebas dan merdeka atas bumi, bagian dari dunia ini yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada mereka.
Selama Agresi Militer Belanda II, Yogyakarta dikuasai Belanda dan para pemimpin Indonesia termasuk Soekarno dan Hatta ditangkap kemudian diasingkan ke Pulau Bangka.
Sam Ratulangi ditangkap oleh Belanda pada 25 Desember 1948, dan dipindahkan ke Jakarta pada 12 Januari 1949 untuk kemudian dipindahkan ke Bangka.
Namun, karena masalah kesehatannya, Sam Ratulangi diizinkan tinggal di Jakarta sebagai tahanan rumah.
Sam Ratulangi meninggal pada 30 Juni 1949, dan dimakamkan sementara di Tanah Abang. Pada 23 Juli 1949,
jenazahnya diangkut ke Manado dengan kapal KPM Swartenhondt. Kapal itu sampai di Manado pada 1 Agustus 1949. Pada hari berikutnya, jenazah Sam Ratulangi dibawah, dan dimakamkan di kampung halamannya di Tondano.
Sam Ratulangi sangat terkenal di wilayah Suku Minahasa. Jalan-jalan besar atau utama di semua kotanya (Bitung, Manado, Tomohon, dan Tondano) diberi nama Jalan Sam Ratulangi. Namanya juga dipakai untuk bandar udara internasional Manado seperti halnya universitas negeri di Manado.
Patung-patung tentang Sam Ratulangi terdapat di persimpangan antara Jalan Sam Ratulangi dan Jalan Bethesda di Manado, di kampus Universitas Sam Ratulangi, di samping makam Ratulangi di Tondano, di Jakarta dan Serui, bahkan di sebuah taman kota di Davao, Filipina, yang terletak di utara pulau Sulawesi.
Pada 2016, Kementerian Keuangan RI mengeluarkan uang baru seri 2016 di mana pecahan Rp 20.000 menggambarkan Ratulangi di bagian depan.***
Sumber: Wawancara, Wikipedia, berbagai sumber