Rumah Mak Cik Sam masih temaram di antara rumah tetangganya yang sudah gelap sejak tadi. Cahaya dari lampu 10 watt keluar dari celah-celah ventelasi dan pintu depan yang masih terbuka, menyusup ke aliran parit kapuas, tepat di depan rumahnya.
Malam itu sudah larut diiringi rintik yang urung berhenti, udara dingin masuk pori-pori kulit. Mak Cik Sam masih sibuk menyelesaikan anyaman bakulnya yang sempat terhenti akibat dua kali listrik mati di rumahnya itu.
Tapi dia tidak sendiri, di ruang tamu ada suaminya, Isman yang juga tengah sibuk menjahit tali jala untuk persiapan turun mencari ikan di Sungai Kapuas esok hari.
Mak Cik Sam, begitu para tetangga memanggil wanita 60 tahun bernama asli Samsunah ini. Ia dan suaminya adalah warga Dusun Maju Bersama, Desa Kalibandung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Malam itu mereka lembur, menyelesaikan masing-masing urusan yang harus tuntas sebelum pagi datang.
"Sudah dua (bakul) yang jadi. Nyelesaikan sisa ini saja lagi," ujar Mak Cik sambil membujurkan kaki kirinya yang mulai penat, Sabtu (30/1).
Bagaimana tidak penat, Mak Cik Sam sudah bersila menghadap bakul itu dari lepas kumandang Isya tadi. Sementara jarum jam beberapa menit lagi tepat di angka 11. Terlebih, prediksi Samsunah dia punya gejala reumatik. Dia ragu lantaran tak pernah mengunjungi dokter.
"Untung tangan ini udah sembuh," ungkapnya sambil mengelus tangan kanan yang kerap keram juga karena menyimpul anyaman.
Perihal menganyam, Mak Cik Sam hanya punya waktu panjang bila malam tiba. Sebab pagi hingga sore, ia mesti menjaga dua cucu perempuannya yang masih kecil. Satu bernama Vizah sudah duduk di bangku kelas dua sekolah dasar dan si bungsu, Nadia baru berusia tiga setengah tahun.
"Mandikan, kasi makan. Emak sama bapaknya sibuk," tutur Mak Cik Sam sambil melanjutkan anyamannya lagi.
Bakul itu, pesanan orang. Totalnya ada 17 buah dan harusnya esok pagi sudah dikirim ke Pontianak lewat kapal motor penumpang. Tapi waktu, terlebih tenaga wanita setua dia tak mendukung. Mak Cik Sam terpaksa minta waktu lagi untuk menganyam beberapa buah bakul yang belum selesai.
Mak Cik Sam adalah satu di antara dari lima orang yang terwariskan pengetahuan kearifan lokal bakul di dusun itu. Empat lainnya ada Mak Jam, Safarudin, Saknah dan Mak Nis. Tetangga yang tersekat dinding dan jalan dusun.
Tapi eksistensi bakul muncul lagi belakangan ini. Pesanan selalu ada, entah untuk pengganti kotak nasi ataupun sekedar hiasan rumah. Mak Cik Sam pun kembali semangat menganyam. Selain ada sumber kehidupan yang diharapkan, ia juga ingin kembali merawat ingatannya.
"Kayak ini pinggirannya tak rata, lupa ‘mata’," kata dia sambil menunjukkan bakulnya yang tidak sejajar akibat lupa perhitungan.
Kata Mak Cik Sam, ia mulai belajar menganyam sewaktu masih belia. Gurunya tak lain ibunya sendiri. Tapi Mak Cik Sam otodidak, ia belajar hanya dengan cara mengamati lantaran pernah dimarah ibunya sebab tak fasih-fasih saat diajarkan langsung.
"Jadi belajarnya tu cuma lihat-lihat saja. Lama-lama jadi tahu," ujarnya.
Seiring waktu, aktivitas menganyam itu tak dirawatnya. Pertama karena sibuk, kedua di rumah sudah banyak bakul. Kala itu, kata Mak Cik Sam bakul hanya digunakan masyarakat sebutuhnya. Biasa dijadikan tempat padi atau untuk cuci beras.
Berbeda saat ini, bakul mulai tenar dengan berbagai variasi model, warna sampai kegunaan. Pesanan mulai berdatangan, Mak Cik Sam kembali mengingat kepiawaiannya dulu untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Tapi, jangan anggap enteng menganyam bakul. Meski bahan cukup melimpah, tapi semua proses dari awal perlu kepiawaian yang tak sembarang.
Kata Mak Cik Sam, bahan dasar untuk bakul ini sebetulnya daun pandan. Tapi bukan pandan yang biasa dijadikan bahan bumbu. Daunnya lebih panjang dan bisa ditemui di dalam hutan.
Namun, saat ini daun pandan sudah sulit ditemukan. Jikapun ada, itu tanaman orang yang dirawatnya. Otomatis mesti mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Untung masih ada daun sejenis pandan yang bisa digunakan untuk menganyam bakul. Namanya daun seke’.
Berbeda dengan pandan, daun seke’ sedikit rumit mengolahnya lantaran di batang daunnya identik dengan duri. Salah-salah justru bisa mencederai tangan.
Panjang daun seke’ sekitar satu meteran. Warna hijau dan sedikit keras. Daun ini, kata Mak Cik Sam bisa ditemukan di sekitar pinggiran sungai Kapuas.
“Nanti tinggal dilayit,” ungkap Mak Cik Sam.
Dilayit yang dimaksud Mak Cik Sam adalah proses memisahkan daun seke’ dari batangnya. Setelah dilayit, daun terlebih dahulu direbus sekitar dua jam dengan air mendidih. Baru kemudian dijemur sekitar dua sampai tiga hari, tergantung pada keberpihakan cuaca.
“Kalau hari panas, sehari cukup. Tapi kalau hujan bisa dua sampai tiga hari,” ungkapnya.
Setelah kering, daun pasti akan berubah warna. Dari hijau menjadi kuning kecoklatan atau benar-benar coklat. Setelah itu, daun akan digesek ke batang kayu ataupun benda tumpul apapun. Malam itu, Mak Cik Sam menggeseknya dengan batu asah.
“Proses ini semua merupakan bagian dari pelembutan agar daun nanti lebih mudah dianyam,” jelas Mak Cik Sam.
Bila ingin lebih rapi, daun akan diraut dengan alat pencetak manual, semacam pisau pengukur agar setiap lembar daun lebarnya semua sama. Biasanya Mak Cik Sam menggunakan ukuran satu sentimeter.
Dari seluruh proses ini, menganyam adalah bagian yang memerlukan ketekunan dan kesabaran yang tinggi. Tidak sembarang merajut, ada hitung-hitungan ‘mata’ yang harus benar-benar diperhatikan. Begitulah Mak Cik Sam menyebutkan jarak antara selang-seling setiap helai daun.
“’Mata’ ini yang menentukan besar-kecilnya bakul yang kita buat,” kata Mak Cik Sam sembari menutup obrolan.
Dukungan LPHP dan Jari
Gencarnya kebutuhan bakul di pasar, tidak membuat Mak Cik Sam pelit ilmu. Dia mau ada generasi muda yang meneruskannya. Selain mengantisipasi menjadi generasi terakhir, niat Mak Cik Sam juga ingin ibu-ibu di sana memiliki pendapatan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Hutan Desa (LPHD) Kalibandung dan Lembaga JARI Indonesia Borneo Barat. Lembaga yang konsern terhadap perlindung Hutan Desa ini mulai menggerak kelompok perempuan di desa untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu menjadi produk olahan.
“Seperti bakul ini bahan dasarnya didapatkan di sekitar kawasan Hutan Desa kita,” kata Ketua LPHD Kalibandung, Usman.
Berangkat dari itu, Usman dan anggotanya mulai membentuk kelompok perempuan di sana. Meski belum punya nama, biasanya rumah Usman dijadikan tempat untuk kelompok ibu-ibu ini belajar menganyam. Satu di antaranya adalah Mak Cik Sam yang dijadikan guru.
“Tujuan kita jangan sampai kehilangan generasi. Jadi sebisa mungkin pengetahuan ini diturunkan. Nanti tak tahu nganyam pula ibu-ibu di sini,” ungkapnya.
Pendamping Desa Kalibandung dari Lembaga JARI Indonesia Borneo Barat, Muhammad Taufik Hidayat mengatakan saat ini LPHD sudah membentuk Kerja Usaha Perhunanan Sosial (KUPS) yang bergerak dalam pemanfaatan kawasan di bidang pertanian.
Selain itu, LPHD juga akan membentuk kelompok usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu untuk pembuatan anyaman serta kelompok yang fokus pada pemanfaatan jasa lingkungan yakni wisata alam di kawasan hutan lindung. Tujuannya untuk melindungi satwa endemik di areal hutan desa.
“Kita dampingi dari penggalian potensi, analisis bisnis model kelompok usaha untuk menentukan perencanaan usaha kelompok berdasarkan kebutuhan kelompok dan pemanfaatan potensi yang sudah ada di Desa Kalibandung,” kata Taufik.
Menurut Taufik, Hutan Desa Kalibandung memiliki peran penting dalam peningkatan perekonomian ekonomi masyarakat dengan potensi hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Di sini, LPHD Kalibandung punya program strategis dalam pengelolaan wilayah, penguatan kelembagaan, pengembangan ekonomi kelompok usaha perhutanan sosial, mitigasi perubahan iklim dan konservasi.
“Untuk mewujudkan hal tersebut, butuh perencanaan dan proses yang panjang serta keterlibatan para pihak hingga adanya hutan yang lestari dan masyarakat sejahtera,” tutupnya. (sms)