Syiar Ramadan post authorKiwi 09 Mei 2020

Ceramah Daring di Masa Pandemi

Photo of Ceramah Daring di Masa Pandemi Syamsul Kurniawan, Sekretaris LHUBP PWM Kalbar

KARENA terdampak pandemi Covid-19, banyak kegiatan-kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang dibatasi selama bulan Ramadan tahun ini, seperti kegiatan Salat Tarawih berjamaah, tadarusan di surau/masjid, kultum, buka puasa bersama, dan lain sebagainya.

Konsekuensinya, surau/ masjid yang biasanya ramai dengan jamaah mendadak menjadi sepi karena kegiatan ibadah selama masa pandemic ini untuk sementara telah berpindah dari ruang public keruang private: di rumah masing-masing. Apa yang menjadi tantangan, ketika ini terjadi?

Tentu saja, kegiatan-kegiatan keagamaan yang telah mengalami perpindahan ruang, dari public ke private, jangan sampai mengakibatkan ustadz/kiyai merasa kehilangan momentum. Bulan Ramadan tahun ini harus tetap semarak oleh keberadaan ustadz/ kiyai. Ustadz dan kiyai yang di tahun-tahun sebelumnya lebih banyak memanfaatkan mimbar surau/masjid untukberceramah, selama berlakunya imbauan pemerintah “beribadah di rumah” jangan sampai merasa dibatasi untuk “tetap” berceramah.

Betul, bahwa format berceramah yang berubah menjadi dalam jaringan (daring) akan mendatangkan masalah bagi sebagian ustadz/kiyai yang gagap dengan keberadaan media baru (new media). Apalagi boleh diamini, meskipun media baru mendapatkan momennya di abad ini, tetapi tidak semua ustadz/ kiyai kita yang melek media baru. Sehingga dalam realisasinya, ceramah keagamaan oleh sebagian ustadz/ kiyai memang jarang dilakukan secara daring dan lebih banyak dilakukan secara konvensional di mimbar surau/masjid dan majelis-majelis serupa.

 Tetapi ini belum terlalu terlambat bagi ustadz/kiyai untuk bias menyesuaikan diri. Mau tidak mau, karena tuntutan keadaan, kegiatanberceramah yang biasamerekalakukan di “mimbar surau/masjid” harus merekapindahkan ke “mimbar daring” (dalam jaringan), dan mereka harus menyesuaikan diri dengankeberadan media baru (new media) dalam kerja-kerja berceramah. Kerja-kerja membangun karakter umat melalui kegiatan berceramah tersebut tetap harus mereka lakukan, namun secara daring.

Karena itu lebih dari sekadar mekanis penceramah keagamaan yang berpindah mimbar, tantangan makin berat bagi ustadz/kiyai saat ini adalah menyesuaikan konten-konten ceramah mereka dengan konten-konten yang telah mereka desain ulang secara kreatif.

Apalagi yang disasar oleh mereka ketika mimbar ini berpindah ke daring adalah pengguna smartphone yang oleh Marc Prensky (2001) disebut dengan digital natives (pribumi digital). Oleh Prensky, digital natives adalah mereka yang lahir di lingkungan serba digital.

Sejak lahir mereka telah melihat penggunaan peralatan digital yang digunakan orangtuanya, sehingga tidak heran kalau sejak usia dini mereka sudah fasih menggunakan smartphone atau komputer tablet.

Keberadaan media baru lambat laun yang tengah menguasai hampir di berbagai sector kehidupan saat ini, seperti dalam hal pendidikan, perdagangan, jasa, dan lain-lain, termasuk dalam konteks dakwah. Masyarakat yang terus berlomba-lomba dalam menyerap kemanfaatan dari media baru sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, tak terkecuali dalam hal keagamaan, harus disadari oleh ustadz/kiyai yang berdakwah.

Kemunculan media baru saat ini memang tidak dimungkiri telah merupakan condition sinequanon sama halnya dengan mustahilnya ustadz/kiyai menghindari aktifitas berkomunikasi dalam dakwah mereka. Trend media baru ini tentu saja bukan untuk dimaki apalagi sampai dihindari, melainkan sebuah tantangan untuk mengambil lebih banyak peran di dalamnya dengan sebaik-baiknya.

Sebab, bersikap menghindar hanya akan membuat kualitas mereka sebagai ustadz/kiyai tertinggal dalam segala hal, termasuk ketika mereka berceramah sebagai konsekuensi dari dakwah mereka yang dilakukan di abad ini.

Halaman Selanjutnya

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda