MUSUH terbesar kita bukanlah segala sesuatu di luar kita, melainkan diri kita sendiri. Individu yang ditakdirkan menjadi seorang pemenang adalah mereka yang bisa mengalahkan diri sendiri.
Maksudnya, berbagai sifat negatif yang ada di dalam diri: pemalas, minder, tidak sabaran, mudah menyerah, kurang percaya orang lain, tidak berani mencoba, tidak disiplin, maupun sering menunda pekerjaan.
Para pemenang, atau sebut saja orang yang sukses dalam kehidupan karir maupun ibadahnya, adalah mereka yang bisa mengenali diri sendiri lalu mengalahkannya.
Oleh karenanya, kerap kali kita mendengar kalimat kalahkan dirimu sedemikian rupa sampai orang lain tidak bisa lagi mengalahkanmu.
Ibnu Hajar al-Asqalani, ahli hadits sekaligus penulis kitab Fathul Bari, pernah mengutip dari ahli hikmah. “Barangsiapa menyangka ada yang lebih memusuhi dirinya ketimbang nafsunya sendiri, berarti ia kurang mengenali pribadinya sendiri”.
Kalimat serupa, yang menerangkan bahwa musuh terbesar adalah diri kita sendiri juga pernah disampaikan Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzar, bahwa, “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya”.
Artinya, cara untuk bisa menjadi pribadi yang bermental pemenang (kehidupan dunia dan akhirat) adalah dengan mengenali dan memenangi diri sendiri.
Mengenali kebiasaan-kebiasaan buruk yang membuat kita tidak produktif, seperti malas, tidak disiplin, sering menunda pekerjaan maupun ibadah, dan lainnya.
Setelahnya kita bisa mulai belajar untuk mengalahkan berbagai sifat negatif tersebut. Salah satu cara untuk bisa menang melawan diri sendiri adalah dengan melakukan ibadah puasa.
Puasa
Puasa adalah rukun Islam yang keempat. Secara terminologi, menurut Imam Zarkasyi (1990), puasa merupakan menahan diri dari makan dan minum dari segala sesuatu yang membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan syarat tertentu.
Ini bertolak belakang dengan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi, seperti makan, minum, dan hubungan biologis.
Oleh karenanya, apabila individu berhasil menjalankan ibadah puasa akan mendapatkan berbagai manfaat atau hikmah. Di antaranya adalah hikmah dalam hal religius; kaitannya dengan medis/kesehatan; perspektif psikologis; dan kehidupan sosial.
Hikmah Religius, diperoleh dari ketaatan individu karena berusaha menahan diri dari makanan dan kebutuhan seksual karena mengikuti pada perintah Allah.
Orang yang berpuasa, meskipun berada seorang diri di ruangan tertutup dan banyak makanan, tetap akan berusaha terus berpuasa. Mereka tidak akan berbohong dan berpura-pura terus berpuasa.
Hal tersebut karena adanya perasaan selalu diawasi oleh Allah. Individu hanya akan makan atau minum saat waktunya tiba.
Pengendalian ini menurut Munib (2019) menghindarkan individu dari praktik-praktik kecurangan seperti korupsi, mencuri, merampas, dan lainnya. Maka, apabila individu bisa mempertahankan berbagai sifat ini setelah selesai bulan puasa dapat tercipta sebuah ekosistem kejujuran. Selain itu, individu juga akan terbiasa dengan perilaku kedisiplinan.
Hikmah medis, dalam berpuasa dijelaskan di berbagai macam penelitian. Di antaranya, puasa bermanfaat dalam mengistirahatkan organ pencernaan; membersihkan banyak racun dari tubuh dalam proses pencernaan; meningkatkan imunitas; menurunkan kadar gula; mengobati berbagai macam penyakit seperti ginjal, kanker, stres, depresi, insomnia; dan lainnya.
Hikmah psikologis dalam berpuasa, salah satunya adalah meningkatkan kecerdasan emosional individu. Ini berkaitan dengan kemampuan pengendalian diri yang dilakukan secara terus menerus oleh mereka yang berpuasa. Kecerdasan emosional ini juga berkaitan dengan faktor kesuksesan individu dalam menjalani berbagai aktivitas hidup.
Hikmah sosial yang didapatkan oleh orang yang berpuasa adalah adanya empati yang tinggi dengan orang-orang yang jauh tidak beruntung. Kondisi lapar dan haus orang yang berpuasa menghadirkan kesadaran akan kepedulian, solidaritas, juga rasa kasih sayang.
Kedisiplinan
Disiplin menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dan sebagainya).
Di antara faktor yang menyebabkan individu sering kali gagal dalam kehidupan adalah adanya sifat dan sikap yang kurang disiplin. Baik itu disiplin dalam sekolah, kuliah, bekerja, rapat, jadwal harian, ibadah dan lainnya.
Disiplin dalam terminologi Islam adalah perilaku taqwa, yaitu perilaku ketaatan dan kepatuhan kepada semua aturan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Maka dari itu, dalam taqwa terkandung pengendalian diri akan dorongan emosi dan penguasaan atas hawa nafsunya.
Selain itu, dalam taqwa juga terkandung perintah untuk senantiasa berbuat adil, amanah, dan menghindari perbuatan zalim. Taqwa inilah yang akan dicapai oleh individu-individu yang berpuasa.
Ibadah puasa jelas memiliki nilai dan unsur untuk melatih kedisiplinan diri. Sebab, puasa terikat dengan berbagai syarat, baik itu waktu pelaksanaan maupun larangan-larangan. Oleh karenanya, setidaknya terdapat tiga jenis kedisiplinan yang akan dimiliki oleh individu sebagai bekal setelah bulan ramadan.
Disiplin pertama terkait menunaikan kewajiban. Puasa ramadan adalah ibadah wajib yang harus ditunaikan, apabila kewajiban ini tidak ditunaikan, maka individu harus menggantinya di lain waktu. Disiplin terkait kewajiban ini dapat meningkatkan bertanggung jawab individu terhadap tugasnya dan kewajibannya.
Selanjutnya disiplin waktu. Sebagaimana kita tahu puasa terikat dengan waktu pelaksanaan mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Maka, apabila nilai-nilai kedisiplinan akan waktu ini bisa diimplementasikan bisa menjadikan individu lebih menghargai waktu. Tidak akan ada lagi alasan keterlambatan.
Terakhir adalah disiplin hukum. Dengan adanya disiplin dengan hukum, individu bisa berperilaku sesuai dengan norma maupun peraturan perundangan yang berlaku di sebuah wilayah atau negara.
Maka, dia akan terhindar dari berbagai perilaku menyimpang dan melanggar hukum yang mengakibatkan dampak negatif.
Pembiasaan selama satu bulan penuh ini diharapkan bisa menjadi tabiat individu yang terinternalisasi dalam kepribadiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Munib (2019) bahwa efek terpenting dalam sudut pandang psikologis dari ibadah puasa adalah membentuk watak manusia menjadi patuh/ disiplin. (*)