Syiar Ramadan post authorKiwi 16 Mei 2020

PUASA: MAU CARI APA?

Photo of PUASA: MAU CARI APA? Dr. Syahbudi, M. Ag, Direktur Natoras Institute

PERTANYAAN pada judul di atas selalu menjadi persoalan serius dalam beragama. Tanpa terkecuali ibadah-ibadah lainnya seperti salat, zakat dan haji, maka melaksanakan ibadah puasa juga menimbulkan konsekuensi pertanyaanya itu apa sebenarnya yang mau dicari dalam melaksanakan puasa termasuk puasa Ramadan?

Puasa (shaum) bermakna al-imsak yaitu menahan, mengendalikan. Imsak dalam makna yang lebih luas berkaitan dengan menahan atau mengendalikan segala perilaku dari tindakan-tindakan yang mengarahkan kita menjadi jauh dari sifat taqwa.

Taqwa menyediakan sarana untuk menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga hubungan dengan sesame manusia. Pelajaran berharga puasa adalah ajaran untuk memelihara hawa nafsu, dan bukan menghilangkan hawa nafsu sehingga harapan ketaqwaan dapat diraih, sebagaimana telah saya jelaskan pada dua artikel Syiar Ramadan sebelumnya. (https://www.suarapemredkalbar.com/read/ramadan/23042020/puasa-ramadan-dan-virus-corona-kedisiplinan-diri-dalam-ketuhanan-dan-kemanusiaan) dan (https://www.suarapemredkalbar.com/read/syiar%20ramadan/01052020/ramadan-dan-virus-corona-mewujudkan-humanisme-relijius)

Dalam surah al-Baqarah (2): 183, Allah perintahkan orang beriman untuk berpuasa yang juga telah diperintahkan kepada orang-orang sebelum Islam datang. Perintah puasa itu menunjukkan adanya kesamaan dasar (common ground) yang sebenarnya dapat mempertemukan semua umat manusia. Kesamaan dasar yang saya maksudkan adalah kemanusiaan yang bertaqwa dan ketuhanan yang bertaqwa.

Kemanusiaan yang bertaqwa adalah kesadaran diri sebagai manusia yang di dalamnya terdapat keragaman watak, fisik dan perilaku. Kemanusiaan yang bertaqwa menghadirkan pesan tegas bahwa puasa harus mewujudkan rasa kemanusiaan. Manusia tidak bias keluar dari kemanusiaannya.

Haus, lapar dan letih adalah manusiawi yang menjadikan manusia itu bermakna. Melalui haus, lapar dan letih setiap orang diminta untuk bekerjasama dan saling menghormati. Sebab di dalamnya terdapat kemanusiaan.

Di masa sulit pandemic virus corona sekarang ini, penting memaknai puasa dalam konteks bekerjasama dan menghormati. Nilai-nilai kemanusiaan dalam puasa meredam sifat serakah dan tamak manusia. Mencegah diri dari sesuatu yang awalnya dibolehkan menjadi tidak boleh adalah bentuk-bentuk kemanusiaan yang universal.

Tidak ada kegiatan manusia yang tanpa batas. Manusia bias melakukan sesuatu ditempat tertentu, kadang tidak berlaku di tempat lain. Kita tidak bias menggunakan standard subyektif sendiri untuk menjadi ukuran boleh tidaknya melakukan sesuatu. Puasa melahirkan individu-individu yang toleran terhadap keragaman sebagai akibat dari mengendalikan hawa nafsu.

Terdapat tiga kategori kaitannya antara manusia dan mengendalikan hawa nafsu, pertama, manusia yang cenderung tunduk pada hawa nafsu. Ciri utamanya adalah menjadikan ukuran tertinggi dari posisi manusia ketika manusia itu mampu memenuhi kebutuhan hawa nafsunya.

Hawa nafsu menjadi standard untuk menjadikan identitas kemanusiaannya. Bahkan pada posisi yang paling ekstrim hawa nafsu menjadi tuhan. Kategori manusia ini dapat mengacaukan system kosmos kekhalifahan di muka bumi. Sekalipun alam dan seluruh isinya digunakan untuk kepentingan kehalifahan manusia, namun dikelola dengan orientasi hari ini dan saat ini.

Bumi dan isinya dieksploitasi sesuai dengan kecenderungan hawa nafsu. Manajemen pengelolaan kepemimpinannya juga cenderung menghalalkan segala cara. Seolah tanpa jenuh dan tanpa batas, hanya kematianlah yang mampu menghentikannya.

Kedua, manusia dan hawa nafsu saling menundukkan. Ketegori ini manusia masih dalam posisi yang plin-plan dan terombang ambing. Kalau malam rajin salat, siang hari korupsi adalah contoh terbaik kategori ini. Saat malam hari berzikir dan menyebut asma Allah, pagi hari membicarakan keburukan saudaranya.

Manusia jenis ini sangat pragmatis dan suka mengeluh. Kalau berada pada situasi yang menguntungkan maka dia akan berubah haluan, tetapi jika tidak menguntungkan maka dia tinggalkan. Konsistensi (istiqomah) tidak mengakar di dalam dirinya.

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (Al-Ma’arij/70: 19-21).

Ketiga, manusia yang menundukkan hawa nafsunya. Kategori ini menjadikan manusia lebih superior dalam segala hal terhadap hawa nafsunya. Hawa nafsu hanya sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa manusia itu berada pada manusia yang sempurna.

Manusia tidak dapat hidup tanpa nafsu, sekecil apapun nafsu tersebut hadir di dalam diri manusia. Nafsu itu ibaratnya arus listrik yang menggerakkan kehidupan manusia. Arus yang terlalu kuat, maka manusia akan jatuh pada posisi yang pertama. Jika arus yang menggerakkan manusia itu naik turun, maka akan menempati pada kategori yang kedua.

Bahkan tidak jarang manusia akan terjerumus lebih dalam pada situasi yang ekstrim. Arus yang dapat dikendalikan sesuai dengan kebutuhan perangkat elektronik adala harus yang terbaik dan dapat memelihara alat elektronik tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan sarana yang berfungsi untuk menjaga arus agar tetap stabil, dan bukan untuk menghambat arus. Itulah puasa.

Puasa yang sedang kita lakukan merupakan sarana untuk mengendalikan arus nafsu supaya jangan terlalu kuat, juga jangan sampai byar pet. Puasa adalah pengendali untuk menjadikan manusia mampu memelihara kemanusiaannya. Taqwa tidak bias diciptakan tanpa nafsu.

Taqwa tidak berarti harus menghilangkan hawa nafsu. Sebaliknya, taqwa juga tidak akn dapat dicapai jika nafsu terlalu mendominasi kehidupan kita.

Sementara itu, ketuhanan yang bertaqwa adalah kesadaran diri manusia akan kebesaran tuhannya. Setiap manusia akan menyadari kehadiran Tuhan di dalam hidupnya. Sekalipun bentuk kehadiran itu beragam bentuk dan apresiasinya.

Puasa telah mengingatkan bahwa bertuhan saja tidak cukup tanpa adanya upaya yang serius. Sering kali keseriusan dalam bertuhan harus melewati haus, lapar dan letih. Bertuhan tidak cukup meyakini Tuhan, kemudian bertindak seperti maunya Tuhan. Puasa mengajarkan bahwa ada pemahaman Tuhan yang mungkin sama dalam setiap manusia yang harus dipelihara. Puasa seolah mendorong untuk menghormati Tuhannya orang lain. Sifat ketuhanan adalah sifat yang menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sosial yang beragam dan berbeda.

Jika saja setiap orang memaksakan dirinya bertindak berdasarkan persepsi Tuhannya, maka bias dipastikan ketuhanan akan hilang. Ada banyak orang yang bertuhan, namun tidak menjaga hubungannya dengan Tuhan. Ada banyak orang yang mengaku percaya Tuhan, tapi tidak mencerminkan perilaku yang berketuhanan.

Terakhir, semoga apa yang kita cari selama berpuasa tidak hanya menyisakan belajar menjaga haus dan lapar.Wallahu’alam bi al-Shawab. (*)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda