Landak post authorelgiants 29 Oktober 2019

Masyarakat Adat Dayak dengan Salam Khasnya

Photo of Masyarakat Adat Dayak dengan Salam Khasnya FESTIVAL DAYAK - Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji membuka Festival Budaya Dayak di Bengkayang, Kalimantan Barat, belum lama ini.

Demikian sepenggal kalimat salam khas yang sudah terpatri di masyarakat suku Dayak.

Secara keseluruhan, pengertian dari Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata adalah bahwa "Dalam hidup ini, kita harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif, terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti di surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Adil Ka`Talino Bacuramin Ka`Saruga Basengat Ka`Jubata, mungkin asing terdengar bagi sebagian orang. Namun kata-kata itu, seperti sudah menyatu dalam jiwa sebagian besar warga Dayak di Kalimantan Barat.

Kalimat tersebut, sering kali menjadi sapaan pembuka dalam suatu acara atau pertemuan, baik resmi maupun tidak di Provinsi Kalbar. Bahkan Mantan Gubernur Kalbar, Cornelis, selalu memulai sambutannya di depan tamu dan undangan dalam suatu perhelatan resmi dengan sebaris kalimat tersebut.

"Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata", lantas dibalas sebagian tamu yang paham, dengan perkataan "Arus..., arus..., arus" Itulah "salam" Dayak.

Ketua Harian Dewan Adat Dayak Kalbar, Yakobus Kumis, membenarkan bahwa sebaris kalimat tersebut merupakan falsafah hidup masyarakat Dayak.

Diambil dari Bahasa Kanayatn, yakni bahasa yang biasa digunakan warga Dayak "Ahe" yang bermukim di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang dan kini di Kota Pontianak.

"Adil ka`talino" artinya harus bersikap adil kepada sesama manusia.

"Bacuramin ka`saruga" artinya kita harus bercermin, berpandangan hidup seperti perkataan baik di surga. "Basengat ka`jubata" bahwa kehidupan manusia itu tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Lantas, dijawab dengan teriakan "Arus, arus, arus" (sebanyak tiga kali), yang artinya "amin", atau pun "ya", "terus-terus mengalir" (seperti air) dan "terus hidup".

"Intinya, kita harus bersikap adil dan berbuat adil kepada sesama manusia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya.

Menurut Yakobus Kumis, sebaris kalimat tersebut tidak muncul begitu saja. Melainkan melalui olah pikir sejumlah tokoh Dayak dan dibahas dalam suatu pertemuan. Dia menyebut tiga nama tokoh Dayak yang menjadi perumus sehingga lahirnya falsafah tersebut.

Mereka adalah Bahaudin Kay, Ikot Rinding, dan RA Rachmat Sahudin. Baik Bahaudin Kay maupun Rachmat Sahudin kini telah meninggal dunia. Sementara Ikot Rinding, sejak lama tidak muncul ke muka publik karena sakit.

Falsafah itu dikukuhkan pertama kali dalam Musyawarah Adat Naik Dangau pertama tahun 1985 di Anjungan, Kabupaten Pontianak.

Pada dasarnya, makna kalimat salam ini, merupakan wujud dari ideologi dasar dalam kehidupan bagi negara Indonesia, yakni Pancasila. Namun, dikemas dalam bentuk kearifan lokal.

Kearifan lokal semacam inilah yang secara substansi mampu mengatasi pertengkaran, apalagi fitnah yang diproduksi oleh informasi hoaks, maupun dampak negatif dari perkembangan era digitalisasi informasi.

Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Seluas, Bengkayang, Kalimantan Barat, Gustian Andiwinata mengatakan, kearifan  lokal yang membentengi dari penjajah dan faham menyesatkan, seolah  dilupakan. Dunia digital menyeragamkan penggunanya menjadi global  citizen. 

"Kebudayaan internet menjadi norma standar, yang sering tanpa  batas. Sistem pendidikan yang minim literasi digital dan media tidak  diperdulikan pemerintah. Kita dibiarkan liar di dunia digital tanpa  arah," ungkap dia. 

Perkembangan teknologi informasi sekarang ini membawa sebuah perubahan di dalam masyarakat. Lahirnya media sosial saat ini menjadikan pola-pola perilaku masyarakat umumnya mengalami pergeseran baik budaya, etika dan norma yang ada saat ini.

"Perubahan era digitalisasi tidak bisa kita hindari, tetapi harus cepat kita sikapi, agar tidak berdampak buruk," kata Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Seluas, Bengkayang, Kalimantan Barat, Gustian Andiwinata, kemarin.

Indonesia dengan beragam suku, budaya, dan adat istiadatnya patut disyukuri. Indonesia, menurut dia,  adalah bangsa yang begitu unik dan kuat di mata bangsa lain.  Kolonialisme tidak merobohkan persatuan. Modernisme pun tidak bisa  menghapus keragaman kearifan lokal. Kearifan lokal adalah inti dari  bangsa Indonesia yang bersatu. Namun di era informatika saat ini, media  mengaduk-aduk persatuan.

Hate speech dan berita bohong mempolarisasi preferensi politik. Saat media  cetak dan elektronik berlomba mengabarkan. Banyak oknum pun berkerumun  mengaburkan. Dunia digital sejatinya bisa menguatkan nasionalisme, kini  menjadi media propaganda partisan. 

"Sosial media menjadi medan perang  berita bohong dan umpatan dibalik anonimitas," kata Gustian.

Menurut dia, pada dasarnya era digitalisasi tidak berdampak buruk terhadap kearifan lokal, tetapi akan dapat digunakan sebagai media informasi dan memperkaya inspirasi pengembangan budaya, sehingga punya nilai untuk diekspose.

"Di sini masyarakat adat bisa mengenal berbagai kesamaan adat Dayak dari berbagai penjuru serta membuat hubungan antar sub suku dari tempat- tempat yang berjauhan menjadi bisa bersatu. Contohnya, beberapa kegiatan Gawai Dayak dan Ekspedisi Tumbang Anoi," tutur Gustian.

Namun, di samping itu mesti ada upaya pengawasan dan regulasi yang disematkan. Era digitalisasi ini sebaiknya diperkuatlah dengan ketahanan masyarakat Adat, di antaranya melalui aturan adat.

"Jika tidak, masyarakat bisa terjerat hukum maupun penipuan serta kejahatan lain yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat yang sudah baik," katanya.

Diketahui, di dalam masyarakat adat,  ada yang dikenal dengan hukum sumbang. Perbuatannya sama dengan menyebar kabar bohong, seperti halnya Hoaks. Perbuatan ini tentu tidak dibenarkan, karena berdampak negatif, yakni merugikan banyak pihak dan seseorang, sehingga hukum sumbang perbuatan bisa diterapkan.

"Salam khas Dayak itu sudah jelas, kalau orang Dayak tetap berlaku adil dan jujur serta bertanggung jawab," ungkapnya.

Salam Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata, terang Gustian juga bisa mengatasi pertengkaran dan fitnah akibat hoaks,  karena Basenget Ka Jubata jelas menyadarkan masyarakat adat terhadap dosa serta karma dari Jubata.

Akademisi Sosial Budaya Universitas Tangjung Pura Pontianak, Viza Juliansyah mengatakan, berita bohong atau hoaks, sampai detik ini masih kerap ditemui di media sosial. Adanya upaya bersama untuk menekan segala bentuk provokasi, ujaran kebencian, dan berita bohong tampaknya masih bertepuk sebelah tangan. Publik, utamanya para warganet, masih saja dengan mudah terjebak dalam pemberitaan atau informasi picisan yang diproduksi oleh oknum sehingga, mempengaruhi nalar berpikir yang sehat untuk menganalisa kebenaran suatu informasi. 

"Secara sosiologis, publik masih terbelah dalam dua kubu yang dalam realitasnya masih saja bertarung dengan model pertarungan yang primitif yakni dengan serangan verbal yang jauh dari adab, karena menyerang personal melalui informasi palsu yang cenderung ditengarai sebagai firnah," katanya.

Menurut dia, perkembangan teknologi informasi saat ini yang sangat pesat tentu bisa dilihat dari dua sudut pandang berbeda. Pertama sebagai hal yang positif sekaligus kesempatan. Namun, kedua, negatif  bahkan merupakan ancaman.

"Perkembangan teknologi dan informasi sangat memudahkan berbagai aspek kehidupan manusia. Ini berlaku pada berbagai tingkatan mulai dari individu hingga negara. Tidak terhitung kemudahan dan efisiensi yang kita dapatkan saat ini. Salah satunya adalah kemudahan mendapatkan sekaligus menyebarkan infomasi sehingga informasi menjadi berlimpah," terang Viza.

Dari sudut sebaliknya. Hal ini menyebabkan banyak hal yang belum pernah masyarakat hadapi sebelumnya. Banjir informasi menyebabkan semua orang kesulitan memisahkan antara informasi yang bisa dipercaya dan yang tidak. Kenyataan bahwa setiap orang kini bisa dengan mudah memproduksi informasi dan menyebarkannya memperburuk hal ini, karena tidak ada filter yang memadai untuk memilah informasi.

Kearifan lokal, jelas merupakan salah satu yang terancam akibat proses globalisasi yang dipercepat oleh kemajuan teknologi ini. Pada kenyataannya, globalisasi mendorong semua nilai yang berlaku di dunia semakin universal. Budaya yang bersifat lokal menjadi lebih cepat tergantikan budaya dari luar diakibatkan mudahnya masuknya informasi dari berbagai arah.

Namun, kita tidak perlu berlebihan mengkhawatirkan hal ini. Karena hal ini merupakan suatu yang pasti terjadi. Bahkan pada hakekatnya semua budaya yang ada dimanapun merupakan hasil pengaruh dari budaya luar mereka. Sejak dulu kita memang saling mempengaruhi satu sama lain," terang dia.

Dalam jangka panjang, dan paling ideal cara membendung hoaks dan disrupsi informasi adalah membangun masyarakat yang mampu berfikir kritis. Ini berarti selalu mempertanyakan setiap informasi yang diterima. 

"Tidak langsung mempercayai apapun tanpa proses pemikiran mendalam dan verifikasi atau cek ulang ke sumber lain," katanya.

Namum, menurut Viza membangun masyarakat kritis tidaklah mudah. Butuh waktu panjang dan proses pendidikan yang menunjang itu semua. Dan itu belum disediakan di banyak lembaga pendidikan di Indonesia. "Kita dibiasakan untuk tidak mempertanya informasi apapun yang diberikan kepada kita," ujar dia.

Untuk penyelesaian sementara, penting peran pihak pemerintah dan kepolisian untuk memberikan pendidikan pada masyarakat mengenai buruknya dampak berita bohong melalui proses sosialisasi dan penindakan pelaku penyebaran. Meski terlihat tidak ideal, penberian sanksi selalu bisa diandalkan untuk penyelesaian instan yang bersifat sementara.

"Selain itu, penting bagi kita sesama masyarakat untuk mengingatkan rekan atau keluarga kita setiap kali mereka menyebarkan berita bohong. Mungkin ini melelahkan, tapi ini paling tidak bisa jadi kontribusi kita sebagai masyarakat dalam meredakan hoaks," tutur Viza.

Adapun wujud kearifan lokal yang banyak dikenal masyarakat yang bisa digunakan untuk melawan penyebaran hoaks, adalah banyaknya masyarakat yang memegang pandangan bahwa aib sebaiknya tidak dibicarakan pada banyak orang. 

"Ini ada di banyak masyarakat dalam banyak bentuk. Sayangnya seringkali ini dikalahkan oleh dorongan manusiawi masyarakat untuk saling membicarakan keburukan orang lain. Meskipun mungkin jika itu bohong," ungkap Viza.

Terkait dengan nilai yang terkandung dalam Adil Ka`Talino Bacuramin Ka`Saruga Basengat Ka`Jubata, dikatakannya sangat relevan dalam usaha memerangi hoaks. Salah satu hal yang paling menonjol dari salam tersebut adalah anjuran untuk berbuat adil pada semua. 

"Jika ini benar - benar ditanamkan, maka kita semua akan berfikir ulang sebelum menyebarkan berita yang belum bisa dipastikan kebenarannya, dikarenakan itu jelas bentuk perbuatan tidak adil pada pihak lain bahkan juga tidak adil dalam berfikir. Karena sesungguhnya keadilan  itu dimulai dari berfikir secara adil pula," tutur Viza. (soryadi)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda