BERANI menantang apa pun keputusan negara raksasa sekaliber Tiongkok. Inilah sosok Tsai Ing-wen (64), Presiden Taiwan, yang pada awal 2020 kembali terpilih untuk masa jabatan periode II.
Di mata Xi Jinping dan Partai Komunis Tiongkok, Taiwan harus segera menyatu kembali ke Daratan China, bukan sebagai 'pulau separatis', yang mendirikan republik demokrasi.
Karena mungkin dianggap kodrat wanita itu lemah, provokasi pesawat-pesawat tempur Tiongkok terus terjadi di wilayah udara Taiwan. Bahkan, Taipei, ibu kota negara pulau ini, tak segan dimasuki jet-jet tempur China walaupun Taiwan masih menahan diri.
Toh presiden pertama wanita Taiwan ini tak mau tinggal diam. Armada tempur Taiwan baik darat, laut udara, dan juga rkayat, sudah siap, kapan pun Tiongkok menyerang untuk memaksa Taiwan kembali ke China Daratan.
Dilansir Suara Pemred dari ABC News, 17 Januari 2020, Tsai menjelang terpilih kembali sebagai Presiden Taiwan, menyatakan kembali tekatnya untuk menjaga kedaulatan Taiwan termasuk dari aneksasi Tiongkok pesan yang kuat kepada dunia. Inilah suatu pesan kuat yang dikirmkannya kepada dunia.
"Kami adalah negara demokrasi yang sukses. Kami memiliki ekonomi yang layak [dan] kami pantas mendapatkan rasa hormat dari China," katanya.
Dalam Pilpres Taiwan 2020, Tsai sukses mengumpulkan lebih dari delapan juta suara, suatu rekor tertinggi yang dengan mudah membuatnya memenangkan masa jabatan kedua.
Tsai telah memfokuskan kampanyenya terutama pada perambahan China daratan, yang semakin agresif di negara pulau itu, dan komitmen Partai Progresif Demokratik yang mengusungnya, untuk koimitmen dengan demokrasi.
Tsai bahkan mengumpulkan dukungan dari distrik-distrik yang secara tradisional sempat dikuasai kandidat oposisi. Sebagian besar pendukungnya di distrik-distrik itu adalah kalangan generasi muda, yang lebih cenderung mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Taiwan, orang yang terpisah dari China.
Mengutip ancaman China yang semakin intensif, lewat peningkatan latihan militer dan upaya berkelanjutan untuk memisahkan Taiwan dari sekutu internasionalnya termasuk AS dan Jepang, Tsai menyatakan yakin bahwa semakin lebih banyak warga Taiwan yang merasakan bahwa 'ancaman itu nyata'.
Tolak Dijadikan seperti HongKong
Gelombang protes atas Tiongkok yang kerap marak terjadi pada 2020 di Hong Kong, menurut Tsai, menunjukkan peringatan tentang seperti apa sebenarnya 'satu partai, dua sistem', yang diberlakukan pemerintah Tiongkok ke HongKong, sebagai wilayah otonomi khususnya setelah dikembalikan dari Inggris.
Boleh dikata, warga negara Taiwan, yang sepakat dua kali memilihnya sebagai presiden, bersikap 'benci tapi rindu' terhadap Tsai. Dalam masa jabatanya ketika pertama kali memimpin Taiwan, dilansir dari BBC News, 11 January 2020, Tsai sempat dituding memberlakukan kebijakan yang menyebabkan kekurangan listrik sehingga mengakahiri upaya mempromosikan energi hijau.
Selain itu, Tsai menolak tawaran dua hari libur dalam sepeka untuk semua pekerja karena dianggapnya hanya akan merugikan, dan bukan untuk meningkatkan pendapatan.
Ironisnya, Tsai telah menjadikan Taiwan sebagai negara pertama di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis .
Kebijakannya itu mendapat pujian di seluruh dunia yang sebaliknyamerusak popularitas Tsai di dalam negeri.
Tsai: Taiwan Berdiri dengan Kebebasan!
Kemenangan utamanya dalam Pilpres Taiwan 2020 tak lain karena Tsai telah menempatkan dirinya sebagai pembela kedaulatan Taiwan. Tsai telah melawan pandangan China bahwa pulau itu suatu hari nanti harus disatukan dengan daratan.
Sebaliknya, saingan utama Tsai di pilpres tersebut, Han Kuo-ui dari Partai Kuomintang (KMT), mendorong hubungan yang lebih dekat dengan China. Karena itulah Han pun karena kalah kampanye dengan Tsai.
Tasia telah mendorong gagasan bahwa partainya, Partai Progresif Demokratik (DPP), akan menentang Beijing, dan menjaga Taiwan tetap demokrasi liberal.
"Memilih Tsai Ing-wen ... berarti kita memilih masa depan kita, dan memilih untuk berdiri dengan demokrasi, dan berdiri dengan kebebasan," kata Tsai kepada wartawan, sehari sebelum berlangsunya pemungutan suara di Pilpres Taiwan 2020.
Kalimat pendek yang kemudian memacu patriotisme warga negara Taiwan sehingga Tsai kembali duduk sebagai 'nahkoda' Taiwan. Kemenangannya telak: meraih lebih dari 57 persen suara atau lebih dari delapan juta suara, sedangkan Han tertinggal jauh: 38 persen!
Hakka dan Pribumi non-China Taiwan
Tsai adalah anak bungsu dari 11 bersaudara, lahir di desa pesisir di selatan Taiwan. Tsai pindah Taipei ketika berusia 11 tahun. Etnis campurannya - ayah Hakka dan ibu Taiwan - disebut-sebut sebagai salah satu sifat yang membantunya terhubung dengan pendukung. Tsai juga memiliki seorang nenek yang berasal dari salah satu kelompok pribumi non-Cina di Taiwan.
Sebagai lulusan hukum dari Universitas Nasional Taiwan, Tsai menyelesaikan gelar masternya pada 1980 di Cornell University Law School, Inggris, kemudian meraih gelar doktor dari London School of Economics and Political Science pada 1984.
Pada 1990-an, Tsai menjadi negosiator untuk aksesi Taiwan ke Organisasi Perdagangan Dunia, kemudian diminta untuk melayani di Dewan Keamanan Nasional Taiwan sebagai penasihat mantan Presiden Lee Teng-hui.
Tsai bergabung dengan DPP pada 2004, dan naik dengan cepat menjadi ketuanya, empat tahun kemudian, ketika DPP mengalami kekalahan telak dalam pemilihan presiden.
Pendahulunya, Chen Shui-bian, kalah dari Ma Ying-jeou dalam Pilpres Taiwan 2008, kemudian dipenjara karena korupsi.
Kampanye antikorupsi sendiri adalah gaya dan sikap Tsai, ketika muncul di panggung politik, yang kemudian membedakannya dari 'penjaga lama' DPP lainnya, sesuatu yang telah menguntungkan Tsai dalam menarik pemilih yang lebih muda.
Terlepas dari perpecahan dan faksionalisme di DPP, Tsai mampu menggalang dukungan yang dibutuhkan untuk meremajakan DPP. Di bawah kepemimpinannya, kinerja Tsai jauh lebih baik dalam pemilihan lokal.
Upaya pertama Tsai untuk mencalonkan diri sebagai presiden, gagal pada 2012, tetapi Tsai terus membangun kesuksesannya.
Empat tahun kemudian, Tsai terpilih, disusul periode berikutnya.
Masa Jabatan Pertama: Investasi Taiwan Naik
Masa jabatan pertama Tsai telah sukses menaikkan upah minimum di Taiwan, juga investasi dan saham. Layanan sosial, termasuk penitipan anak dan perawatan lansia, dan perumahan umum juga mendapat dorongan.
Tetapi, ekspor telah turun, dan pertumbuhan PDB rata-rata dalam empat tahun pertamanya - sekitar 2,7 persen- lebih rendah dari pada masa jabatan pertama pendahulunya, meskipun Tsai sendiri sendiri menghadapi perlambatan global.
Gaji bulanan rata-rata meningkat sedikit, tetapi sama seperti 16 tahun lalu, karena inflasi , dan masih terendah di antara empat negara yang ekonominya dijuluki sebagai naga kecil Asia.
Tsai juga gagal mengatasi penyebab utama harga perumahan yang tinggi, dan kesenjangan kekayaan - sistem pajak yang gagal untuk memajaki investor properti secara memadai.
Sementara itu, Beijing meningkatkan tekanan ke Taiwan setelah Tsai menolak untuk mengakui Konsensus 1992, perjanjian yang tidak jelas yang menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari Satu China.
Masih dari ABC News, 17 Januari 2020, Tsai berhasil meyakinkan investor Taiwan untuk merelokasi pabrik mereka kembali dari China. Hal ini terkait untuk mematahkan ketergantungan ekonomi Taiwan dari China, bagian dari prioritas pemerintahan Tsai sebelumnya, yang berpusat kediversifikasi dan perluasan ekonomi pulau itu.
Perang Saudara China pada 1949
Klaim China atas kedaulatannya terhadap Taiwan, dimulai pertama kali ketika kaum nasionalis melarikan diri ke Pulau Taiwan setelah kalah dalam Perang Saudara China pada 1949.
Kini, di bawah pemerintahan Presiden China Xi Jinping, sikap China terhadap Taiwan semakin agresif. Setelah Pilpres Taiwan 2020, Jinping mengeluarkan peringatan yang menyatakan bahwa penyatuan adalah syarat, jika ada pembicaraan atau kemajuan antara kedua pemerintah.
Toh peringatan Beijing itu tak membuat Tsai kecut nyalinya. Ini karena Taiwan telah mengembangkan identitas, pemerintahan, militer, dan hukumnya sendiri, serta berfungsi sebagai negara berdaulat.
"Kami tidak perlu mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka," kata Tsai kepada BBC News. "Kami sudah menjadi negara merdeka, dan kami menyebut diri kami Republik China."
Tsai menekankan keinginannya untuk memperdalam hubungan dengan AS, walaupun AS sendiri belum secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara merdeka.
Hanya saja, AS telah mempertahankan hubungan tidak resmi yang kuat dengan pulau itu. Sejak Tsai terpilih kembali sebagai Presiden Taiwan, banyak pemimpin politik di AS mengeluarkan pernyataan yang memberi selamat kepada Tsai atas kemenangannya, meskipun memicu kemarahan dari Pemerintah China.
Para pemimpin AS termasuk Ketua DPR Nancy Pelosi, menyebut Pilpres Taiwan 2020 sebagai 'pemilihan penting' di mana jutaan orang Taiwan menegaskan kembali komitmennya terhadap demokrasi yang bebas dan terbuka. "Amerika berharap untuk lebih memperkuat kemitraan, dan persahabatan yang kuat dengan Taiwan," katanya.
Menteri Luar Negeri AS ketika itu, Mike Pompeo, berterima kasih kepada Tsai atas kepemimpinannya, dan memuji Taiwan sebagai model dan kekuatan untuk kebaikan.
Kenapa China-Taiwan makin Tegang?
Dilansir dari laman Council on Foregn Relations, 10 Mei 2021, perbedaan status Taiwan telah memicu meningkatnya ketegangan antara pulau itu dan daratan China. Konflik Taiwan juga berpotensi menjadi titik nyala dalam hubungan AS-China
Dalam sejarahnya, Taiwan resmi dikenal sebagai Republik China (ROC), sebuah pulau yang dipisahkan dari China oleh Selat Taiwan, dan secara resmi Republik Rakyat China (RRC) sejak 1949 memandang pulau itu sebagai provinsi pemberontak, dan bersumpah untuk akhirnya menyatukan Taiwan dengan daratan.
Taiwan sendiri telah memiliki pemerintahan sendiri yang dipilih secara demokratis, dan merupakan rumah bagi dua puluh tiga juta orang.
Hanya saja, para pemimpin politik di Taiwan memiliki pandangan yang berbeda tentang status dan hubungan pulau itu dengan daratan.
Ketegangan lintas selat telah meningkat sejak pemilihan Presiden Taiwan yang dimenangkan oleh Tsai Ing-wen pada 2016. Tsai menolak untuk menerima formula yang didukung pendahulunya, Ma Ying-jeou, untuk memungkinkan peningkatan hubungan lintas-selat.
Sementara itu, Beijing telah mengambil tindakan yang semakin agresif, termasuk dengan menerbangkan jet tempur di dekat pulau itu. Beberapa analis khawatir serangan China di Taiwan berpotensi menarik AS untuk berperang dengan China.
Menolak 'Satu China'
Beijing menegaskan bahwa hanya ada 'satu China', dan Taiwan adalah bagian darinya. RRT dianggap sebagai satu-satunya Pemerintah Tiongkok yang sah, sebuah pendekatan yang disebut sebagai prinsip Satu Tiongkok, dan mencari 'penyatuan' kembalinya Taiwan ke daratan.
Beijing mengklaim bahwa Taiwan terikat oleh pemahaman yang dikenal sebagai Konsensus 1992, yang dicapai antara perwakilan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan partai Kuomintang (KMT), yang kemudian memerintah Taiwan.
Namun, kedua belah pihak tidak menyetujui isi dari apa yang disebut konsensus ini, dan tidak pernah dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang status hukum Taiwan.
Dalam pidato pada 2019, Jinping menegaskan kembali proposal lama China untuk Taiwan: bahwa itu dimasukkan ke daratan di bawah formula 'satu negara, dua sistem'. "Ini adalah formula yang sama yang digunakan untuk Hong Kong, yang dijamin kemampuannya untuk melestarikan sistem politik dan ekonominya dan diberikan “otonomi tingkat tinggi," katanya.
Sementara kerangka kerja seperti itu, sangat tidak populer di kalangan masyarakat Taiwan. Menunjuk ke tindakan keras Beijing baru-baru ini atas kebebasan di Hong Kong, Tsai bahkan KMT telah menolak kerangka kerja 'satu negara, dua sistem' itu.
Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, AS memperdalam hubungan dengan Taiwan, walaupun China keberatan. Hubungan itu sudah termasuk ketika AS menjual senjata senilai lebih dari 18 miliar dolar AS kepada militer Taiwan, dan meluncurkan pembangunan kompleks senilai 250 juta dolar AS untuk kedutaannya secara de facto di Taipei.
Trump berbicara dengan Tsai melalui telepon menjelang pelantikannya, suatu kontak tingkat tertinggi antara kedua belah pihak sejak 1979.
Trump juga mengirim beberapa pejabat senior pemerintahan—termasuk seorang anggota kabinet—ke Taipei, dan selama hari-hari terakhirnya menjabat, Departemen Luar Negeri AS menghilangkan pembatasan lama yang mengatur di mana, dan bagaimana pejabat AS dapat bertemu dengan rekan-rekan mereka di Taiwan.
Pemerintahan beikutnya, Joe Biden, tampaknya mengambil pendekatan serupa: menegaskan keputusan pemerintahan Trump untuk mengizinkan pejabat AS bertemu lebih bebas dengan pejabat Taiwan, dan mengirim delegasi tidak resmi mantan pejabat AS untuk mengunjungi Tsai di Taipei.
Biden juga merupakan Presiden AS pertama yang mengundang perwakilan Taiwan untuk menghadiri pelantikannya sebagai presiden pada Januari 2021.***
Sumber: ABC News, BBC News, Council on Foregn Relations