Sebagian kalangan mungkin memandang tradisi sungkeman sebagai bentuk relasi feodal yang mengekalkan hierarki sosial ala warisan kolonial. Pandangan ini sangat tidak tepat. Sungkeman dalam tradisi pesantren bukanlah produk sistem penjajahan atau budaya tunduk yang bersifat struktural, melainkan ekspresi adab dan penghormatan yang lahir dari kesadaran spiritual. Ia tumbuh dari nilai-nilai Islam yang menempatkan guru sebagai pewaris para nabi ( _waratsatul anbiya_) dan ilmu sebagai cahaya yang harus dijaga dengan ketundukan hati. Tidak ada unsur pemaksaan atau dominasi dalam sungkeman; yang ada adalah ketulusan santri dalam mengakui peran kiai sebagai pembimbing ruhani. Oleh karena itu, sungkeman lebih tepat dipahami sebagai warisan etika keilmuan, bukan sebagai simbol kekuasaan sosial yang menindas.
Dalam perspektif antropologi hukum, sungkeman dapat dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap otoritas simbolik dan moral seorang kiai, yang tidak hanya berfungsi sebagai pendidik, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai transenden dalam komunitas pesantren. Secara sosiologis, tindakan ini memperkuat struktur sosial berbasis patronase keilmuan, di mana kiai menjadi figur sentral dalam pembentukan identitas religius dan sosial santri.
Penghormatan yang ditunjukkan melalui sungkeman mencerminkan internalisasi nilai-nilai spiritual yang diyakini dapat membuka pintu keberkahan dan rahmat ilahi. Dalam konteks hukum Islam, penghormatan terhadap guru merupakan bagian dari tradisi sanad keilmuan, yang menekankan pentingnya silsilah ilmu dan legitimasi otoritas keagamaan. Santri tidak hanya belajar dari teks, tetapi juga dari keteladanan hidup sang guru.
Tradisi ini juga mengajarkan bahwa penghormatan bukanlah bentuk penghambaan, melainkan pengakuan. Pengakuan atas jasa, atas ilmu, dan atas peran seorang guru dalam membentuk manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beradab. Di tengah arus modernisasi, mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita masih tahu cara menghormati mereka yang telah membimbing kita?