Oleh: Mei Purwowidodo
PEMILIHAN Gubernur Kalimantan Barat (Pilgub Kalbar), telah setahun berlalu. Proses demokrasi lima tahunan itu berjalan dengan segala dinamikanya—penuh warna, ketegangan, harapan, hingga akhirnya rakyat menentukan pilihan.
Kini, saatnya para pemimpin dan elite politik Kalbar menatap ke depan dengan jiwa besar. Kompetisi sudah selesai. Maka tak ada lagi alasan untuk terus menghidupkan rivalitas politik yang melelahkan dan kontraproduktif.
Sejarah politik daerah ini mengajarkan bahwa berlarut-larut dalam intrik, manuver jangka pendek, atau cipta kondisi yang semu, hanya akan menguras energi tanpa hasil nyata.
Energi yang seharusnya digunakan untuk membangun dan mempercepat kemajuan, justru terbuang dalam percaturan yang tak memberi manfaat luas.
Padahal, jika ini terus berlanjut, yang dirugikan bukan hanya segelintir elite—tetapi masyarakat secara keseluruhan.
Kalbar adalah provinsi yang sangat kaya akan sumber daya alam dan memiliki wilayah yang luas. Namun di balik potensi besar itu, masih ada tantangan serius yang harus dihadapi bersama.
Salah satunya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar yang masih tertinggal dibanding banyak provinsi lain di Indonesia.
IPM bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi cermin kualitas hidup masyarakat—mencakup pendidikan, kesehatan, dan daya beli.
Meningkatkan IPM tentu bukan tugas ringan. Ia menuntut kerja bersama: kolaborasi lintas sektor, sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan yang terpenting, partisipasi aktif dari masyarakat.
Di sinilah peran para pemimpin politik menjadi sangat penting. Mereka bukan hanya simbol kemenangan politik, tetapi juga penggerak solidaritas, penentu arah kebijakan, dan perekat persatuan.
Kemudian, sejak enam bulan sejak Gubernur Kalbar, Ria Norsan, resmi dilantik, tantangan ini belum reda. Bahkan, residu politik pasca pilgub masih terasa.
Fitnah, hoaks, bahkan isu lama yang telah terbantahkan, masih terus diangkat di ruang publik. Informasi yang diputar ulang tanpa dasar ini bukan hanya menyesatkan, tetapi juga melelahkan dan memperlihatkan kerasnya kompetisi politik yang belum sepenuhnya usai.
Namun di tengah riuh rendah politik yang belum tuntas, Gubernur Ria Norsan memilih untuk tetap fokus. Ia tidak larut dalam kegaduhan.
Pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik, serta penguatan ekonomi daerah menjadi agenda yang terus dijalankan.
Sikap ini patut diapresiasi, sebab seorang pemimpin diuji bukan hanya oleh lawan politik, tetapi juga oleh kemampuannya menjaga fokus di tengah gangguan.
Residu politik memang hampir selalu muncul setelah pesta demokrasi. Namun jika dibiarkan terus tumbuh, maka masyarakatlah yang paling dirugikan.
Sudah saatnya semua pihak—baik pendukung maupun pengkritik—menyalurkan energi politiknya ke arah yang lebih produktif: mengawasi dengan data, mengkritisi secara konstruktif, dan memberi masukan yang membangun.
Demokrasi tidak boleh dipersempit menjadi sekadar perebutan kekuasaan. Ia harus dimaknai sebagai ruang untuk melahirkan pemimpin yang dipercaya dan mampu mewujudkan aspirasi rakyat.
Setelah mandat diberikan, maka tugas selanjutnya adalah memastikan bahwa pembangunan berjalan merata, inklusif, dan menyentuh kepentingan masyarakat banyak.
Bayangkan jika energi besar yang selama ini terkuras dalam rivalitas, justru diarahkan untuk mempercepat pembangunan, memperluas akses pendidikan, meningkatkan layanan kesehatan, serta membuka peluang kerja.
Betapa besar dampaknya bagi Kalbar. Dan betapa cepat perubahan positif bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat Kalbar berharap banyak kepada para pemimpin dan elite politiknya untuk menunjukkan kebesaran jiwa: menanggalkan ego sektoral dan kepentingan sempit, lalu bersatu dalam kerja nyata.
Mereka menunggu bukti, bukan sekadar retorika. Karena persatuan bukan hanya semboyan, tetapi jalan utama menuju Kalbar yang lebih maju, adil, dan sejahtera.
Kini saatnya kita bergandengan tangan. Karena hanya dengan persatuan, Kalbar bisa berdiri tegak sebagai rumah besar yang memberi kesejahteraan bagi seluruh warganya. (*)