Bayangkan, Pemilu 2029! Bukan lagi antre panjang di TPS, masuk bilik suara yang sempit, jari bertinta ungu,
atau rekapitulasi manual yang memakan waktu berhari-hari yang memelahkan bahkan seringkali memakan
korban jiwa bagi para petugas TPS yang mungkin akibat kelelahan dan stres. Sebaliknya, yang ada adalah
pemilih di seluruh penjuru Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, bisa mencoblos dari gawai mereka masing-
masing. Mimpi? Dulu, iya. Sekarang, dengan mega proyek infrastruktur digital seperti Varuna Cable System
(VCS) dan peluncuran satelit Satria Nusantara 5, mimpi itu seolah selangkah lagi terwujud. Tapi, seberapa
siapkah kita?
Menghubungkan Nusantara: Varuna Cable System (VCS) dan Satria Nusantara 5
Proyek Varuna Cable System (VCS) adalah tulang punggung konektivitas internet di Indonesia. Bayangkan,
jutaan kilometer kabel serat optik yang membentang di bawah laut, menghubungkan pulau-pulau besar dari
ujung barat hingga timur. Ini bukan sekadar internet cepat, tapi sebuah jalan tol data yang menjamin stabilitas
dan kecepatan akses, terutama di daerah-daerah padat penduduk.
Lalu, bagaimana dengan daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau oleh kabel bawah laut? Di sinilah peran
Satria Nusantara 5 menjadi krusial. Sebagai "menara BTS raksasa" di langit, satelit ini dirancang khusus untuk
memancarkan sinyal internet ke pelosok-pelosok desa, pegunungan, dan pulau-pulau terpencil yang selama
ini terisolasi dari jaringan digital. Sinergi antara VCS dan Satria Nusantara 5 menciptakan sebuah "lingkaran
digital" yang merata, memastikan tidak ada lagi 'blank spot' internet di Indonesia.
Pemilu Online 2029: Bukan Hanya Soal Sinyal
Konektivitas adalah langkah awal, tapi bukan satu-satunya syarat. Pertanyaannya sekarang, bisakah
infrastruktur ini menopang sebuah sistem e-voting yang andal dan aman?
Pertama, keamanan. Ini adalah isu paling sensitif. Bagaimana kita bisa memastikan sistem e-voting kebal dari
serangan siber, peretasan, dan manipulasi data? Pemerintah dan KPU harus membangun sistem dengan
enkripsi berlapis, otentikasi biometrik (misalnya, sidik jari atau pemindaian wajah), dan audit trail yang
transparan. Data setiap pemilih dan hasil suara harus dilindungi layaknya brankas digital.
Kedua, akuntabilitas dan transparansi. Sistem e-voting harus memungkinkan setiap pemilih untuk
memverifikasi bahwa suaranya tercatat dengan benar, tanpa mengurangi kerahasiaan. Ini bisa dicapai melalui
sistem Blockchain, di mana setiap suara dicatat sebagai blok data yang tidak bisa diubah. Selain itu, diperlukan
adanya tim independen yang secara berkala mengaudit sistem untuk menjamin integritasnya.
Ketiga, literasi digital. Tidak semua warga Indonesia, terutama di daerah pedesaan, terbiasa menggunakan
teknologi digital. Dibutuhkan edukasi masif dan simulasi pemilu digital jauh-jauh hari sebelum 2029. Mulai dari
cara mendaftar, mengoperasikan aplikasi e-voting, hingga memahami pentingnya kerahasiaan data pribadi.
Tantangan yang Menghadang
Meskipun prospeknya cerah, ada beberapa tantangan yang tidak bisa diabaikan. Anggaran adalah salah
satunya. Proyek seperti ini membutuhkan investasi yang besar. Selain itu, regulasi yang kuat dan jelas harus
dibuat untuk menjamin payung hukum yang kokoh bagi pemilu digital. Tanpa regulasi yang memadai, sistem
e-voting akan rawan gugatan dan tidak memiliki legitimasi.
Pada akhirnya, kesuksesan Pemilu Online 2029 tidak hanya bergantung pada seberapa cepat kabel terpasang
atau satelit meluncur. Namun, yang jauh lebih penting adalah seberapa siap kita sebagai bangsa untuk
mengadopsi dan mengelola teknologi ini secara bertanggung jawab, aman, dan transparan, demi masa depan
demokrasi Indonesia yang lebih baik. Ini adalah tantangan paling kritis. E-voting bukan hanya soal
mengumpulkan suara, tapi juga menjamin setiap suara adalah asli, rahasia, dan tidak bisa dimanipulasi. Jika
infrastruktur adalah "jalan", maka sistem e-voting adalah "mobil balap" yang harus teruji dan super aman.
Oleh: Hery Arianto, S.Pd.I (Sekwil DPW PKB Kalbar