Penulis: Muhammad Holil, S.E.,M.Si., Tendik FEBI IAIN Pontianak., Ketua IKA FEBI IAIN Pontianak
INDONESIA kerap disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi dalam praktiknya demokrasi di negeri ini sering terjebak dalam cengkeraman oligarki politik.
Para pengamat seperti Jeffrey Winters (2011) menegaskan bahwa politik Indonesia sangat kental dengan nuansa oligarki, di mana segelintir elit pemilik modal mampu mengendalikan kebijakan publik melalui jejaring politik, ekonomi, dan media.
Oligarki ini tidak sekadar beroperasi di balik layar, tetapi telah menjadi bagian integral dari sistem politik ekonomi kita.
Dari sinilah lahir fenomena yang belakangan ini disinggung oleh Presiden Prabowo sebagai serakahnomic: ekonomi keserakahan yang beroperasi melalui kombinasi kekuasaan politik dan modal.
Serakahnomic oligarki politik tampak jelas ketika kebijakan negara seringkali berpihak kepada kepentingan pemilik modal besar dibandingkan kepentingan rakyat.
Proyek infrastruktur raksasa, konsesi tambang, hingga regulasi yang memberi karpet merah bagi korporasi tertentu, semuanya menunjukkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk melanggengkan akumulasi kekayaan segelintir orang.
Laporan Oxfam (2017) bahkan menyebutkan bahwa ketimpangan di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia: empat orang terkaya memiliki kekayaan setara dengan 100 juta orang miskin. Fakta ini menunjukkan bahwa oligarki politik bukan hanya persoalan demokrasi, tetapi juga akar dari ketidakadilan ekonomi.
Dalam praktik serakahnomic, politik menjadi instrumen ekonomi. Pemilu, yang semestinya menjadi sarana partisipasi rakyat, berubah menjadi ajang transaksi modal.
Biaya politik yang tinggi membuat hanya mereka yang memiliki akses finansial besar yang mampu bersaing, sementara kebijakan yang dihasilkan kemudian lebih condong kepada pemodal yang mendanai proses tersebut.
Hasilnya adalah lingkaran setan: modal melahirkan kekuasaan, kekuasaan melahirkan kebijakan, kebijakan melahirkan keuntungan baru bagi pemilik modal. Rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek, dalam sistem ini.
Lalu, apakah ada jalan keluar? Di sinilah ekonomi syariah menawarkan perspektif alternatif. Berbeda dengan serakahnomic yang digerakkan oleh logika keserakahan dan akumulasi tanpa batas, ekonomi syariah berlandaskan pada prinsip maqasid al-shariah menjaga keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan.
Dalam kerangka ini, distribusi kekayaan bukan hanya persoalan teknis, melainkan kewajiban moral. Instrumen seperti zakat, infak, wakaf, dan sistem bagi hasil bukan sekadar mekanisme keuangan, tetapi instrumen sosial untuk meredam ketimpangan.
Indonesia memiliki peluang unik dalam hal ini. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, penerapan prinsip-prinsip ekonomi syariah bisa menjadi jalan tengah antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial.
Bank syariah, lembaga keuangan mikro berbasis syariah, hingga gerakan wakaf produktif dapat memperkuat basis ekonomi kerakyatan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada modal besar yang sering menjadi pintu masuk oligarki.
Namun, ekonomi syariah tidak boleh berhenti pada aspek simbolik atau sekadar branding “syariah” dalam sistem kapitalisme yang sama.
Ia harus hadir sebagai kritik substantif terhadap serakahnomic: mengoreksi praktik keserakahan, melawan konsentrasi kekayaan pada segelintir elit, serta memastikan bahwa ekonomi berjalan untuk kemaslahatan umat. Jika tidak, ekonomi syariah hanya akan menjadi ornamen tanpa daya transformasi.
Akhirnya, serakahnomic dalam konteks oligarki politik Indonesia adalah tantangan besar yang nyata. Sistem ini telah melanggengkan ketimpangan, melemahkan demokrasi, dan merusak keadilan sosial.
Jalan keluar membutuhkan keberanian untuk melampaui logika keserakahan menuju kerangka ekonomi yang etis, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Ekonomi syariah dengan prinsip maqasid al-shariah dapat menjadi alternatif tersebut bukan sekadar sebagai sistem keuangan, tetapi sebagai paradigma baru yang menempatkan manusia, keadilan, dan kesejahteraan bersama di atas kepentingan modal semata.
Serakahnomic bisa saja menjadi sistem, tapi ia bukan takdir. Jalan tengah sudah ada. Tinggal apakah kita berani menempuhnya, atau sekadar terus meratap di bawah bayang-bayang oligarki tambang dan proyek yang kian rakus. (*)
Daftar Referensi
- Winters, Jeffrey (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.
- Oxfam (2017). Indonesia: Extreme Inequality is Holding Back Economic Growth. Oxfam Report.
- Chapra, M. Umer (2000). The Future of Economics: An Islamic Perspective. The Islamic Foundation.
- Karim, Adiwarman (2014). Ekonomi Mikro Islami. Rajawali Pers.