Dulu, dia pernah berjuang bersama masyarakat mempertahankan hak atas tanahnya dari invasi perkebunan kelapa sawit. Bak pahlawan di balik layar, dia memprovokasi warga untuk tidak mudah memberikan lahannya ke perusahaan. Kini, semangat perjuangan itu telah pudar, layaknya kain bendera usang di depan rumahnya.
Di depan sebuah rumah dekat dermaga, sehelai bendera merah putih yang telah usang tampak enggan berkibar, meski sesekali angin bertiup kencang. Meski demikian, bendera yang warnanya sudah pudar termakan usia itu, tetap tegak berdiri di rumah milik Bambang Sudaryanto, warga Dusun Pelita, Desa Olak-Olak Kubu, Kabupaten Kubu Raya. Menjadi saksi bisu perjuangan pemilik rumah mempertahankan hak atas tanahnya dari PT Sintang Raya, sepuluh tahun lalu.
Bambang layaknya kain bendera merah putih di depan rumahnya. Meski terjuntai di ujung tiang yang tegak, namun enggan berkibar. Bambang mengurung semangat memperjuangkan hak-hak atas tanahnya. Hak-hak masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan dirinya. Bukan karena tak memiliki nyali, bukan jera setelah dikriminalisasi di balik jeruji besi, namun bagi dia sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan.
“Apa yang dilakukan pemerintah selama ini? Kemana pemerintahan kita? Siapa sih saya? Kami hanya masyarakat kecil yang ada di pelosok, mengadukan kasus ini ke kementrian, pusat dan lain sebagainya dengan membawa kebenaran dan fakta yang ada. Hanya itu yang kami bawa. Sebab pemahaman politik yang bagaimana sih yang kami bisa, kalau bukan kebenaran fakta yang kami bawa. Tapi sampai sekarang di mana pemerintah, mana tindaklanjutnya. Pemerintah tidak bisa diandalkan,” kata dia saat ditemui di rumahnya oleh wartawan, minggu lalu.
Bambang adalah mantan kepala desa tersebut 2013 lalu. Tiga tahun sebelumnya atau di tahun 2010, riak-riak kabar perusahaan itu akan masuk ke desanya telah terdengar. Begitu juga dengan desa-desa lain yang sehamparan dengan Olak-Olak seperti, Desa Dabong, Seruat II, Sungai Selamat, Ambawang, Mengkalang Jambu dan Mengkalang Guntung. Sementara, masyarakat sendiri kata dia tidak mengetahui legalitas perusahaan tersebut.
“2010 saya diajak untuk berjuang dan akhirnya terjadilah tuntutan. Kala itu sudah ramai karena sudah ada tuntutan,” ceritanya.
Saat itu, dia masih bak pahlawan di balik layar. Menjadi provokator masyarakat namun tidak terlihat keberadaannya. Satu hal yang paling dia ingat saat itu adalah berpesan kepada masyarakat untuk tidak memberikan lahannya ke perusahaan untuk diplasmakan sebelum ada kejelasan bagi hasil dan kewajiban dari perusahaan. Tidak menandatangani plasma sebelum tahu bagaimana perjanjian perusahaan terhadap masyarakat.
Saat itu dia menginginkan masyarakat harus tahu aturan main dan kesepakatan bersama terkait sistem plasma tersebut. Jangan sampai, dengan plasma yang dibangun, menjadi topeng bagi perusahaan untuk melakukan dalih ketika ada suatu kesalahan.
“Itu yang tidak saya senangi itu. Jangan sampai masyarakat dibohongi dengan hal seperti itu,” ungkapnya.
Namun celakanya, kata dia perusahaan tahu bagaimana intrik untuk menggait masyarakat. Perusahaan merekrut beberapa dari masyarakat untuk bekerja sebagai pencari peserta plasma. Dari situ, masyarakat dijanjikan akan dipermudah proses pembagian hasil plasma. Begitu juga hak-hak lain yang akan didapatkan masyarakat.
“Hal itu yang membuat kesulitan saya untuk menyadarkan masyarakat. Kata mereka nanti selain kita bagi hasil, kita juga bisa bekerja di situ,” ujarnya.
Ternyata, ketakutan Bambang terbukti. Tanah milik masyarakat yang sudah bersertiifikat seluas lima hektar yang tidak masuk dalam SK Hak Guna Usaha (HGU) diserobot perusahan PT Sintang Raya. Sementara wilayah Desa Olak-Olak Kubu tidak termuat dalam dokumen AMDAL perusahan tersebut, namun lahan tersebut digarap untuk dijadikan Kebun Inti Perusahaan.
Tak hanya itu, terdapat juga penyerobotan lahan plasma seluas 151 hektar milik petani plasma PT Cipta Tumbuh Berkembang (PT CTB). Hal ini berawal dari adanya peralihan lahan 801 hektar dari PT CTB kepada PT SR yang dilakukan tanpa sepengetahun petani plasma.
Kasus ini kemudian mulai memasuki ranah hukum dan seluruhnya prosesnya ia serahkan ke pengacara pendamping masyarakat yang saat itu adalah PHBK. Di tahun itu, Bambang juga ikut kontestasi pemilihan kepala desa. Menurut dia, ketika terpilih sebagai kepala desa dia akan tampil di depan publik untuk memperjuang hak-hak masyarakat yang selama ini menjadi tuntutan. Bahkan, hal itu disampaikannya secara terbuka saat melakukan kampanye pencalonan.
“Terkait dengan investor yang ada di desa jika seandainya hak dan kewajiban tidak sesuai maka akan kita pertanyakan bersama-sama. Dan kekuatan kita adalah terkait HGU perusahaan tersebut bermasalah karena tumpang tindih,” ungkapnya.
Bambang kemudian terpilih sebagai Kepala Desa Olak-Olak. Dengan jabatan ini, dirinya semakin paham duduk perkara masalahnya dan bagaimana langkah yang akan ia lakukan. Bahkan, saat itu kata dia paham bagaimana menekan perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang menjadi hak masyarakat.
“Prinsip hidup saya yaitu sudah menjadi kewajiban pemimpin atau amanah. Jadi bukan hanya urusan dunia saja, terkait dengan ke mana arah kepemimpinan ini saya bawa. Ketika saya salah bawa ke arah mana maka bukan hanya menjadi tanggung jawab di dunia saja namun juga di akhirat,” ujarnya.
Namun sayang, gerakan yang ia bangun dengan dibantu beberapa pihak justru melandai. Terutama, bagi dia saat ia dijatuhi hukuman dua tahun setengah oleh hakim dengan tuduhan pencurian blanko desa.
“Dengan perjuangan-perjuangan yang telah saya lakukan saya berharap Pak Presiden bisa mendengar namun nyatanya kita ke sana tidak ada yang bisa diharapkan,” tambahnya.
Menurut dia, dengan apa yang telah terjadi di desa dan dirinya, namun saat ini tidak ada lagi gerakan atau tindak lanjut dari pemerintah, media maupun LSM yang dulunya pernah bersama-sama berjuang bersama dirinya.
“Terkadang saya berfikir dan bertanya kepada kawan-kawan seperjuangan saya, apakah sebetulnya salah yang selama ini kita lakukan. Para pihak yang memiliki mengambil kewenangan untuk membela kebenaran, namun selama ini kita tidak pernah dibela. Artinya apa, mungkin gerakan yang selama ini kami perjuangkan mungkin salah,” ungkapnya.
Tahun 2017, Bambang dinyatakan bebas. Di depan gerbang rutan tidak ada satupun yang ia temui menjemputnya, selain sang istri. Dari dua tahun, Bambang hanya menjalankan hukuman sepertiganya saja sebab dapat potongan remisi. Meski sudah berada di Rutan Mempawah saat itu, dia masih menjalankan amanah sebagai kepala desa. Tentu dengan bantuan staf desa, terutama istrinya. Oleh kewenangan rutan, ia diberi ruangan khusus jika seandainya ada keperluan mendesak tentang desa.
Saat ini kehidupan Bambang berubah. Ia kembali menjadi masyarakat desa layaknya masyarakat desa lainnya. Ia berkebun, bertani di lahan miliknya. Di saat bersamaan menjalankan bisnis kecil warung sembako di rumah.
Bambang pun kini sedikit tertutup dengan masyarakat luas. Ia mengurangi aktivitas luar. Opsi itu ia pilih bukan karena putus asa. Tapi sudah tidak ada lagi yang tersisa semangatnya saat itu. Kerugian bukan hanya datang dari kesia-sian perjuangan, namun juga dalam bentuk material. Bambang saat itu terpaksa meminjam uang hingga Rp200 juta kepada keluarganya yang hingga sekarang belum lunas terbayarkan.
“Saya tahu setiap perjuangan pasti ada pengorbanan. Tapi itu harga yang cukup besar bagi saya, masyarakat kecil di pelosok,” tutupnya. (sms)