Iptek post authorPatrick Sorongan 17 Juli 2022

AMIT-AMIT! Jenazah Dihidupkan Kembali lewat Transplantasi Hati Babi!

Photo of AMIT-AMIT! Jenazah Dihidupkan Kembali lewat Transplantasi  Hati Babi! Ilustrasi jenazah.(Foto: Via Quora)

HATI hewan alias binatang spesies tertentu bisa menghidupkan otak manusia? Lebih amit-amit lagi, organ ini hanya bisa dari babi, bukan yang lain.

Secara medis, manusia dinyatakan mati atau meninggal alias wafat, Jika otak sudah berhenti berfungsi alias berhenti bekerja. Maka, ini berarti bahwa manusia telah sampai ke akhir kehidupan.

Tetapi, para ilmuwan terus berusaha agar manusia yang telah mati,  bisa dihidupkan kembali setelah memulihkan fungsi otaknya.  

Hanya saja, jika hidup kembali, siapa saja pasti kabur, minimal pingsan, paling parah: terserang stroke, saat jenazah pelan-pelan berdiri. Hiiy! 

Toh sejumlah dokter ini bukanlah dukun. Dilansir dari Live Science, Jumat, 15 Juli 2022,  mereka baru saja mentransplantasikan hati babi ke otak dua pasien yang telah meninggal. 

Tujuannya, meningkatkan harapan bahwa transplantasi dari hati babi, lepas dari masalah agama, suatu hari nanti dapat digunakan untuk menyelamatkan nyawa manusia.

Tak dirinci apakah dua pasien itu hidup kembali, tapi yang jelas, operasi tersebut dipimpin oleh Dr Nader Moazami, seorang ahli bedah jantung di pusat medis NYU Langone Health di New York City, AS. 

Operasi dilakukan pada Juni dan Juli 2022, menurut The Associated Press.

Awal 2022, sekelompok dokter yang berbeda dari University of Maryland Medical Center, mentransplantasikan jantung babi ke pasien lain, yang meninggal dua bulan setelah operasi, Live Science melaporkan pada Maret 2022. 

Adapun untuk dua operasi baru-baru ini, Moazami dan timnya mentransplantasikan hati dua babi yang dimodifikasi secara genetik ke dua pasien yang baru saja meninggal. 

Mereka  menggunakan dukungan ventilator selama mengoperasi  Lawrence Kelly (72) dan Alva Capuano (64). Kedua pasien memiliki riwayat penyakit jantung yang panjang, menurut CNN.

Setelah transplantasi, pasien menerima obat standar pasca transplantasi.  

Dokter memantau fungsi jantung pasien selama tiga hari,  tetapi tidak mendeteksi tanda-tanda penolakan organ awal.  

Tidak ada peralatan pendukung mekanis tambahan yang digunakan setelah operasi, menurut perwakilan dari NYU Langone Health dalam sebuah pernyataan. 

Mengoperasi pasien yang sudah meninggal, dibandingkan dengan pasien yang masih hidup, memungkinkan penelitian lebih mendalam tentang seberapa baik tubuh penerima mentoleransi jantung babi.

Menurut Dr Robert Montgomery, Direktur Institut Transplantasi Langone NYU kepada CNN: "Kita bisa melakukan pemantauan lebih sering,  dan benar-benar memahami biologi dan mengisi semua yang tidak diketahui."

Transplantasi pertama organ hewan ke seseorang adalah transplantasi kornea dari babi  pada 1838, menurut National Library of Medicine. 

Sejak itu, upaya tersebut sebagian besar tidak berhasil, karena sistem kekebalan tubuh manusia biasanya menyerang,  dan menolak organ hewan yang ditransplantasikan sebagai benda asing.

Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti telah menghindari penolakan ini,  dengan memodifikasi babi secara genetik untuk membuat organ mereka lebih mirip dengan manusia, Associated Press melaporkan.  

Organ ini sukses 'menipu' sistem kekebalan dengan memodulasi pertumbuhan organ,  dan mengurangi kemungkinan bahwa sistem kekebalan penerima akan menolaknya.

Menurut United Network for Organ Sharing (UNOS), sebuah organisasi nirlaba yang berfungsi sebagai sistem transplantasi organ negara, ada lebih dari 105.000 orang di AS dalam daftar tunggu untuk transplantasi organ.  

Food and Drug Administration (FDA) sedang mempertimbangkan uji coba,  yang akan mentransplantasikan hati atau ginjal babi yang dimodifikasi secara genetik ke pasien sukarelawan, Nature melaporkan. 

Keberhasilan dua operasi baru-baru ini akan membantu para peneliti  selangkah lebih dekat untuk mewujudkannya, menurut NYU Langone Health.***

 

Sumber:  The Associated Press, CNN, National Library of Medicine, Nature, Live Science

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda