PONTIANAK, SP - Dunia pendidikan di Kalimantan Barat (Kalbar) masih menghadapi sejumlah permasalahan mendasar. Mulai dari ketimpangan akses pendidikan, kurangnya jumlah guru, hingga ancaman dihapusnya tenaga guru honorer.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Kalbar, Suherdiyanto, sebagai refleksi pada momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025.
Suherdiyanto menyuarakan keprihatinan mendalam. Ia menegaskan, Kalbar masih menghadapi persoalan mendasar yakni kekurangan guru, ancaman bagi guru honorer, serta kesenjangan layanan pendidikan yang nyata antara wilayah perkotaan dan daerah 3T.
“Kalau kita melihat secara persis, 2024 merupakan tahun terakhir rekrutmen PPPK untuk kebutuhan guru jenjang SMA dan SMK di Kalbar. Dibutuhkan kurang lebih 8.490 guru, namun yang baru terpenuhi hanya 3.067 guru. Artinya masih ada kekurangan sekitar 5.000 guru,” kata Suherdiyanto saat diwawancarai pada Jumat (2/5/2025).
Ia menambahkan, kekurangan itu selama ini ditutupi oleh keberadaan guru honorer. Namun kini mereka terancam, karena pembiayaan melalui dana BOS tidak lagi diperbolehkan oleh regulasi yang baru. Ini, menurutnya, menjadi masalah serius.
“Guru-guru honorer yang dulunya dibiayai BOS, sekarang tidak bisa lagi. Kalau mereka secara otomatis berhenti total, bagaimana layanan pendidikan bisa berjalan, terutama di jenjang SMA dan SMK?” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya peran Gubernur Kalbar dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar untuk memaksimalkan potensi yang ada dan menyusun regulasi agar guru honorer tidak terdampak oleh kebijakan yang bersifat dilematis ketika dijalankan di tingkat satuan pendidikan.
“Kita berharap hal ini juga mendapat dukungan dari DPRD Provinsi, terutama Komisi V, agar nasib guru honorer tidak makin terpuruk. Kasus 17 guru honorer yang dirumahkan harus menjadi bahan evaluasi bersama," tegas Suherdiyanto.
"Jangan sampai kita sudah kekurangan guru, justru semakin jatuh karena tidak ada yang bisa mengambil kebijakan untuk menjaga layanan pendidikan di satuan pendidikan,” sambungnya.
Lebih lanjut, Suherdiyanto menyoroti kualitas pendidikan di Kalbar dari sisi data statistik. Tahun 2024, posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar masih berada di peringkat enam sampai tujuh terbawah secara nasional. Rata-rata lama sekolah masyarakat Kalbar hanya 7,6 tahun setara dengan kelas 1 SMP.
“Ini menjadi tantangan bagi kepala daerah, baik gubernur, bupati, wali kota, maupun dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota. Ini harus menjadi perhatian serius untuk meningkatkan IPM dan memastikan layanan pendidikan benar-benar dirasakan oleh masyarakat, terutama di daerah terpencil,” ujarnya.
Menurutnya, kesenjangan akses dan layanan pendidikan masih sangat kentara. Ketimpangan antara daerah perkotaan dan daerah 3T masih menjadi keluhan utama yakni kekurangan guru, fasilitas minim, dan infrastruktur yang terbatas.
“Ini menunjukkan perlunya pemetaan. Kesenjangan ini memang tidak bisa diatasi dalam waktu satu atau dua tahun, tapi harus ada kerja nyata dan konkret agar bisa mengurangi disparitas antara layanan pendidikan di kota dan daerah,” kata Suherdiyanto.
Ia juga menyoroti distribusi guru yang tidak merata. Masih banyak guru yang lebih memilih bertugas di daerah perkotaan, sementara daerah-daerah terpencil justru kekurangan tenaga pendidik.
“Tidak ada kebijakan yang benar-benar punya keberanian untuk mengatur distribusi guru secara proporsional, sesuai kebutuhan. Padahal ini sangat penting untuk menjamin pemenuhan layanan dasar pendidikan di masyarakat Kalbar,” ujarnya.
Di sisi lain, kualitas guru juga menjadi sorotan, terutama setelah keluarnya aturan yang melarang pengangkatan guru honorer dan pembiayaan gaji mereka dari dana BOS. Hal ini membuat banyak guru honorer dirumahkan, dan dampaknya sangat terasa di lapangan.
“Layanan di sekolah otomatis berkurang. Ini harus disikapi secara cermat. Kita perlu regulasi baru yang bisa menjadi dasar hukum dalam pemenuhan kebutuhan guru, terutama di daerah. Banyak sekolah yang secara bangunan sudah bagus, tapi sarana penunjang seperti laboratorium masih sangat minim, terutama di daerah terpencil,” katanya.
Menurut Suherdiyanto, pemerintah daerah, baik kabupaten kota maupun provinsi, harus melakukan intervensi yang lebih kuat. Tapi, itu saja tidak cukup. Perlu kolaborasi dengan pemerintah pusat dan juga pihak swasta.
Ia berharap ke depan bisa dibangun kemitraan yang kuat agar pendidikan di Kalbar bisa lebih baik dari segi kualitas maupun akses, dan secara langsung berdampak pada peningkatan IPM.
“Perlu sinergi. Pendidikan bukan hanya tugas pemerintah daerah, tapi tanggung jawab bersama. Pemerintah pusat dan perusahaan swasta juga harus ikut. Harus ada kepedulian dari pihak swasta untuk memberikan dukungan dana segar bagi pendidikan masyarakat setempat,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalbar, Rita Hastarita menyampaikan pihaknya terus berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Kalbar.
"Peringatan Hardiknas ini menjadi momentum untuk memperkuat komitmen kita dalam membangun pendidikan yang merata, bermutu, dan inklusif," kata Rita saat menghadiri peringatan Hardiknas 2025 di SMK Negeri 4 Pontianak, Jumat (2/5/2025).
Ia memaparkan bahwa strategi peningkatan kualitas pendidikan dilakukan melalui lima pilar utama: pembangunan infrastruktur, peningkatan kompetensi guru, pemerataan akses, sinergi lintas sektor, dan penggunaan data sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, menurut Rita, sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan produktif. Di saat yang sama, peningkatan kompetensi guru terus dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan profesional berkelanjutan.
Dinas Pendidikan juga aktif memperluas akses pendidikan ke wilayah terpencil dan perbatasan, sembari memperkuat kolaborasi dengan Ombudsman Kalbar, satuan pendidikan, dan komite sekolah untuk pengawasan layanan pendidikan publik yang berkualitas.
"Semua keputusan berbasis data, salah satunya Dapodik. Ini penting untuk mengidentifikasi masalah dan memastikan setiap kebijakan benar-benar menyasar kebutuhan nyata di lapangan," kata Rita.
Dengan pendekatan tersebut, Rita berharap generasi muda Kalbar akan tumbuh sebagai sumber daya manusia unggul yang mampu bersaing secara global serta berkontribusi nyata bagi pembangunan daerah dan nasional.
Adapun Gubernur Kalbar Ria Norsan, memastikan memberikan kemudahan akses pendidikan untuk semua anak agar tidak boleh lagi ada anak di daerah itu yang tidak bersekolah.
"Hal ini saya sampaikan sebagai bentuk komitmen pemerintah provinsi dalam memajukan akses dan kualitas pendidikan hingga ke pelosok, termasuk daerah perbatasan," kata Norsan usai memimpin upacara peringatan Hardiknas 2025 di SMK Negeri 4 Pontianak.
Menurut Norsan, pendidikan sekarang sudah dipermudah. Mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi, semua disiapkan.
"Kita bahkan sudah mendirikan Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda, dan berbagai inisiatif lainnya untuk menjangkau anak-anak yang sebelumnya sulit mengakses pendidikan," tuturnya.
Norsan menekankan pentingnya memastikan semua anak Kalbar bisa sekolah. Ia menegaskan bahwa sudah menjadi kewajiban semua pihak untuk menjamin tidak ada lagi generasi muda yang tertinggal karena persoalan akses maupun ekonomi.
Dalam upaya itu, pemerintah juga memanfaatkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarannya mencapai Rp1,8 juta per tahun bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.
"Dengan bantuan itu, siswa tidak mampu bisa terus belajar tanpa khawatir biaya. Ini sudah menjadi program prioritas pemerintah," tuturnya.
Salah satu langkah konkret yang telah dilakukan oleh Pemprov Kalbar adalah membangun SMA dan SMK baru di wilayah-wilayah perbatasan, termasuk di Kabupaten Kayong Utara, tepatnya di Pulau Karimata.
"Sebelumnya, anak-anak di sana harus menempuh dua jam perjalanan laut ke Kayong untuk bisa sekolah SMA. Jika gelombang tinggi, mereka tidak bisa berangkat. Sekarang kita bangun sekolah lengkap dengan asramanya agar mereka bisa belajar dengan aman dan nyaman," kata Norsan. (din/ant)