PONTIANAK, SP – Penegakan hukum kepada para cukong tambang ilegal nampaknya sulit terjadi, selagi para oknum penegak hukum justru menjadi pengaman terdepan para cukong.
Bahkan apa yang terjadi di Bangka Belitung terkait penambangan ilegal, beberapa waktu lalu sebenarnya hampir sama terjadi di Kalimantan Barat. Ada dugaan oknum para pejabat hukum di daerah dan pusat ikut andil besar, sehingga wajar sulit diberantas.
Presiden Prabowo akhirnya turun tangan, membawa tim dari Kejaksaan Agung RI karena konon sejumlah oknum jenderal berada dibalik tambang ilegal yang bisa menghasilan ratusan trilin untuk kepentingan kantong-kantong pribadi mereka.
Di Kalbar bukan rahasia umum lagi, para pejabat dan mantan pejabat yang pernah bertugas di Kalbar, memiliki banyak lahan kebun sawit dan tambang.
“Mumpung punya kekuasaan, mereka memanfaatkan itu untuk menyimpan, harta karun berupa izin IUP dan lahan kebun dan tambang,” kata salah satu sumber di lingkungan Pemprov Kalbar yang menangani izin tambang kepada Suara Pemred, dan minta namanya dan jabatannya tidak disebutkan, Kamis (9/10).
Wajar saja sejumlah daerah di Kalbar yang menjadi kawasan tambang ilegal sulit diberantas, padahal ribuan alat berat dan ribuan ton bahan bakar minyak (BBM) solar ilegal masuk ke kawasan tersbut.
“Bukan razia ke para penambang, tapi tangkap siapa yang memodali dan siapa yang bekingi. Kalau masyarakat tradisional hanya menggunakan alat-alat sederhana, dan untuk mereka makan dan anaknya sekolah.Tapi kalau alat berat berarti ada kekuatan besar yang mengontrol ini, apalagi setoran pengaman alat berat satu buah bisa puluhan juta dalam sebulan, kalau dikalikan ratusan atau ribuan unit sudah berapa tuh oknum aparat dapatnya, apalagi para komandannya apa gak kaya raya,”ungkap salah satu mantan pemain tambang emas ilegal kepada Suara Pemred yang juga minta namanya tidak disebutkan.
Sebenarnya sekitar satu tahun lalu sempat terjadi kasus penangkapan yang menghebahkan Kalbar, cukong emas ileggal di Singkawang melibatkan keluarga besar Aliong ditangkap. Sekitar 40 batang emas ilegal berhasil diamankan, namun hasilnya hanya dihukum ringan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak menjatuhkan hukuman pidana penjara satu tahun kepada Anthony Suwandy alias Aliong dalam perkara pertambangan emas tanpa izin (PETI) pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Pontianak, Kamis (8/12).
Selain divonis pidana penjara, pemilik kebun binatang Sinka Zoo Singkawang itu juga didenda sebesar Rp 10 miliar. Kasus pertambangan emas ilegal yang melibatkan Anthony Suwandy alias Aliong, pemilik kebun binatang Sinka Zoo, Singkawang tersebut ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalbar.
Dalam kasus itu, Anthony Suwandy alias Aliong diduga kuat sebagai penadah sekaligus pemilik pabrik pengolahan dan pemurnian emas yang berasal dari pertambangan emas ilegal yang tersebar di 10 Kabupaten di Kalimantan Barat.
Dari pabrik tersebut, polisi berhasil menyita sejumlah barang bukti, di antaranya emas seberat 68,9 kilogram atau senilai Rp66,6 miliar, yang terdiri dari emas dalam bentuk lempengan seberat 5,401 kilogram, emas dalam bentuk olahan tahap akhir seberat 26,8 kilogram, emas dalam bentuk olahan tahap awal seberat 34,1 kilogram, dan emas dalam bentuk batangan seberat 2,5 kilogram.
Selain itu, polisi juga menyita 19,6 kilogram bongkahan perak, uang tunai sebesar Rp 470 juta, 11 unit ekskavator, mesin dompeng dan peralatan pendulang, alat pengolahan emas dan serta bahan kimia.
Dalam konferensi pers yang digelar pada 13 Juli 2022, Kapolda Kalbar Irjen Pol Suryambodo Asmoro mengatakan, pengungkapan aktivitas pertambangan emas ilegal ini berlangsung sejak Januari hingga Juni 2022, dengan jumlah kasus sebanyak 23 kasus dan jumlah tersangka sebanyak 75 orang.
“Mereka terdiri dari pekerja tambang, penampung, pengangkut, pengolah bahkan ada juga sebagai pemodal atau aktor intelektual,” ungkapnya.
Sementara itu, kata Suryambodo, aktivitas pertambangan illegal tersebut tersebar di sepuluh kabupaten di Kalbar. Di antaranya Kabupaten Ketapang, Sambas, Sekadau, Sintang, Melawi, Landak, Bengkayang, Kapuas Hulu dan Kota Singkawang.
“Mereka beroperasi ada yang di darat, di sungai, hingga di kawasan Hutan Produksi (HP), seperti di Kabupaten Ketapang dan Cagar Alam (CA) di Kabupaten Bengkayang,” terangnya.
Dalam menjalankan aktivitas pertambangan illegal tersebut, pelaku menggunakan berbagai cara, mulai dari metode tradisional hingga menggunakan alat berat berupa excavator.
Penemuan 42 Keping Emas Ilegal
Baru-baru ini juga warga Kalbar kembali dibuat heboh, Polresta Pontianak berhasil melalukan penggerebekan pada Sabtu, 3 Mei 2025, di sebuah ruko kawasan Perdana Square.
Awalnya, penggerebekan dilakukan karena dugaan penyalahgunaan narkoba, namun petugas justru menemukan tiga keping emas murni tanpa dokumen resmi.
Penelusuran kemudian dilanjutkan oleh Satreskrim dan mengarah pada penemuan tambahan sebanyak 43 keping emas serta satu keping lain yang ditemukan terselip dalam alat X-ray. Total keseluruhan barang bukti mencapai 47 keping emas murni.
Polisi juga menetapkan empat orang tersangka, satu pria berinisial A (LP 17), serta tiga lainnya—DN (perempuan, admin), SR (operator), dan SN (kurir penjemput emas)—untuk LP 18. Seorang lainnya berinisial L yang diduga sebagai pemilik emas masih dalam pengejaran.
Barang bukti berupa 44 keping emas (28,403 kg) dari LP 17, serta 3 keping emas (3,163 kg) dari LP 18, telah ditimbang dan dikonfirmasi. Selain itu, turut diamankan emas batangan dengan total berat 1,338 kg. Semua temuan ini diyakini berasal dari aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kalbar, meskipun polisi masih mendalami lokasi pasti sumber emas tersebut. Penyidik juga menyita buku rekap transaksi yang menguatkan dugaan praktik jual beli emas hasil PETI. Pasal yang diterapkan yakni Pasal 161 UU Minerba. Namun kasus ini pun tak jelas setelah pihak Koperasi Kodam XII Tanjungpura mengaku memiliki emas batangan tersebut.
Kasus di Ketapang
Di Ketapang, kasus emas ilegal juga pernah terjadi pada tahun 2024 lalu. Tersangkanya warga negara Tiongkok, YH. yang menggasak 774 kilogram emas secara ilegal dari pertambangan emas ilegal. Kasus ini terungkap saat tersangka membawa emas tersebut melalui Bandara udara Supadio Pontianak.
Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menaksir kerugian negara dari aktivitas ilegal tersebut mencapai Rp1,020 Triliun.
Kerugian ini dihitung dari cadangan emas yang hilang mencapai 774,27 kg dan perak sebanyak 937,7 kg. Nilai kerugian itu terungkap pada persidangan kasus pertambangan tanpa izin di Pengadilan Negeri Ketapang (29/8/2024).
Dari hasil penyelidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, terungkap bahwa volume batuan bijih emas tergali sebanyak 2.687,4 m3.
Batuan ini berasal dari koridor antara Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dua perusahaan emas PT BRT dan PT SPM, yang saat ini belum memiliki persetujuan RKAB untuk produksi tahun 2024-2026.
Dari uji sampel emas di lokasi pertambangan, hasil kandungan emas di lokasi tersebut memiliki kadar yang tinggi (high grade).
Sampel batuan mempunyai kandungan emas 136 gram/ton, sedangkan sampel batu tergiling mempunyai kandungan emas 337 gram/ton.
Dari fakta persidangan juga terungkap merkuri atau air raksa (Hg) digunakan untuk memisahkan bijih emas dari logam atau mineral lain, dalam pengolahan pertambangan emas ini. Dari sampel hasil olahan, ditemukan Hg (mercuri) dengan kandungan cukup tinggi, sebesar Hg 41,35 mg/kg.
Pelaku melakukan aksinya dengan memanfaatkan lubang tambang atau tunnel pada wilayah tambang yang berizin yang seharusnya dilakukan pemeliharaan, namun justru dimanfaatkan penambangannya secara ilegal.
Setelah dilakukan pemurnian, hasil emas dibawa keluar dari terowongan tersebut dan kemudian dijual dalam bentuk ore (bijih) atau bullion emas.
Penyeludupan Emas Ilegal Lewat Bandara
Kemudian pada tahun 2014 lalu, penemuan kasus emas ilegal yang dibawa melalui Bandara Udara Supadio juga pernah terjadi. Aparat kepolisian dari Polda Kalbar mendapatkan SH alias Ahie (34) yang kedapatan di Bandara Supadio Pontianak dengan barang bukti sebanyak enam kilogram emas.
Penyidikan jaringan Ahie, dilakukan hingga ke Kota Singkawang, yang jaraknya dari Kota Pontianak sekitar 140 kilometer.
Selanjutnya pada tahun 2006, Petugas Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan Udara (KP3U) menggagalkan upaya penyelundupan 15 batang emas seberat 25 kilogram di Bandara Supadio Pontianak.
Emas batangan yang ditaksir seharga Rp4,5 miliar itu rencananya akan diselundupkan ke Surabaya, Jawa Timur, via Semarang, Jawa Tengah, dengan pesawat Batavia Air.
Sebagian emas itu diselipkan dalam rompi yang dikenakan kurir bernama AJ, 21. Untuk menghindari kecurigaan petugas, AJ melapisi rompi yang ia kenakan dengan jaket. Sebagian emas batangan lainnya dimasukkan dalam tas dorong yang selalu dibawa-bawa AJ.
Emas batangan itu diduga lolos melewati dua alat pendeteksi di areal keberangkatan dengan bantuan oknum anggota TNI AU.
Saat di toilet ruang tunggu keberangkatan, AJ memindahkan emas-emas itu ke kardus berisi lempok (dodol) durian. AJ bersama Tuk, 55, pemilik emas batangan tersebut, ditangkap sesaat kemudian ketika mereka tengah santai di kantin ruang tunggu keberangkatan.
Penegakan Hukum Lemah
Penegakan hukum terhadap aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di berbagai daerah di Kalimantan Barat (Kalbar) masih menunjukkan kelemahan yang signifikan dan memprihatinkan.
Meskipun dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari PETI sangat merugikan, upaya aparat penegak hukum sering kali tidak konsisten dan terkesan setengah hati.
Banyak kasus PETI yang berlarut-larut tanpa kejelasan penanganan, bahkan tak jarang ditemukan adanya dugaan pembiaran atau keterlibatan oknum tertentu.
Menurut Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Herman Hofi Munawar, penegakan hukum terhadap PETI di Kalbar ibarat macan ompong. Regulasi sudah jelas dan tegas, namun implementasinya di lapangan masih sangat lemah.
"Ini bukan hanya soal merusak lingkungan, tapi juga kerugian negara yang sangat besar dan konflik sosial yang terus membayangi," ujarnya, kepada Suara Pemred Kamis, 9 Mei 2025.
Ia menambahkan, minimnya pengawasan di lapangan, kurangnya koordinasi antar lembaga atau institusi pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi, serta rendahnya sanksi hukum yang diberikan, semakin memperparah kondisi ini.
Akibatnya, praktik PETI terus berkembang dan merusak ekosistem, mengancam keselamatan masyarakat, serta merugikan negara dari sisi penerimaan pajak dan retribusi.
PETI merupakan salah satu persoalan krusial di berbagai daerah di Kalbar yang memerlukan penanganan serius dan terpadu.
Sayangnya, penegakan hukum terhadap praktik ilegal ini masih sangat lemah dan tidak menunjukkan sikap yang serius, padahal regulasi terkait pertambangan telah diatur secara tegas dalam berbagai regulasi, namun implementasinya di lapangan masih sangat lemah.
Salah satu indikatornya adalah masih maraknya aktivitas PETI yang berlangsung secara terang-terangan di berbagai kabupaten di Kalbar, bahkan di area yang seharusnya terlindungi seperti hutan lindung dan kawasan konservasi.
Aparat penegak hukum (APH) terkesan lamban merespons laporan masyarakat, dan dalam banyak kasus, hanya melakukan tindakan simbolis tanpa kelanjutan proses hukum yang jelas.
Herman Hofi Munawar juga menyatakan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM), keterbatasan anggaran, serta dugaan adanya konflik kepentingan atau keterlibatan oknum aparat menjadi faktor-faktor yang memperparah kondisi ini.
"Ini seperti lingkaran setan. Keterbatasan sumber daya menjadi alasan, padahal di sisi lain ada dugaan pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum. Ini harus dibongkar tuntas," tegasnya.
Selain itu, lemahnya koordinasi antar instansi seperti kepolisian, dinas lingkungan hidup, dan dinas pertambangan menyebabkan pendekatan penanganan PETI menjadi parsial dan tidak menyeluruh.
Akibat dari lemahnya penegakan hukum ini sangat nyata: kerusakan lingkungan yang masif, pencemaran sungai dan sumber air, konflik sosial di tengah masyarakat, serta hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pertambangan.
Lebih jauh, keberadaan PETI juga menimbulkan ketimpangan ekonomi, karena para pelaku ilegal tidak dibebani tanggung jawab sebagaimana pelaku usaha tambang yang sah.
"Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka PETI akan menjadi ancaman laten yang sulit dikendalikan dan akan terus menggerogoti kekayaan alam Kalbar serta merusak tatanan sosial," kata Herman Hofi Munawar.
Ia mengakui, bibutuhkannya komitmen serius dari semua pihak, terutama pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk bertindak tegas, konsisten, dan transparan dalam menegakkan hukum serta menutup celah yang selama ini dimanfaatkan oleh pelaku PETI.
"Tanpa penegakan hukum yang kuat dan sinergi antar lembaga, darurat PETI di Kalbar akan terus berlanjut," pungkasnya. (dok)