PONTIANAK, SP - Bandar Udara (Bandara) baru yang berada di Kota Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar), diminta lebih memperketat pengawasan dan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya upaya penyeludupan emas hasil tambang ilegal.
Hal tersebut bukan tanpa alasan karena Bandara Kota Singkawang berada sangat dekat dengan daerah-daerah dengan aktivitas PETI.
Dari beberapa kasus yang terungkap, sebelum Bandara Singkawang berpoperasi, Bandara Internasional Supadio Pontianak seringkali menjadi pintu utama (transit) untuk penyelundupan emas ilegal hasil PETI Kalbar.
Salah satu sumber Suara Pemred menyebut, isu penyelundupan emas ilegal melalui bandara merupakan masalah yang sering muncul, mengingat Kalbar adalah wilayah dengan aktivitas PETI yang cukup marak. Untuk itu perlu untuk memantau dua lokasi bandara di Pontianak dan Singkawang yang bisa saja menjadi lokasi untuk membawa emas-emas ilegal.
“Kalau Bandara Supadio kan sudah beberapa kali kasus, tapi Bandara Singkawang belum pernah di terjadi. Kan itu lebih dekat dari lokasi tambang,” ungkap warga Kota Singkawang.
Barli, salah satu penambang emas ilegal di Kalbar mengungkapkan, emas yang berasal dari hasil penambangan ilegal di wilayah Kalbar biasanya akan dibawa ke luar daerah, salah satunya dengan menggunakan transportasi udara.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terungkapnya sejumlah kasus penyeludupan ratusan kilogram emas batangan melalui Bandara Internasional Supadio yang terletak di Kabupaten Kubu Raya tersebut.
Emas batangan itu diduga berasal dari sejumlah wilayah tambang emas ilegal di Kalbar seperti Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sanggau, Sekadau, Landak, Bengkayang , Sambas, Kota Singkawang dan Kabupaten Mempawah.
“Kalbar ini kaya akan tambang emas, ada juga bausit. Sayang pemerintah pusat dan daerah tidak membuat aturan mengelola dengan baik dan benar, rakyat dibiarkan menambang secara ilegal. Akhirnya dimanfaatkan oleh cukong dan oknum aparat, mereka yang kaya-raya, sedangkan masyarakat kecil hanya untuk menyambung hidup, makan dan biaya sekolah anak,” kata Barli.
Dari data yang ada, kasus-kasus penyelundupan emas ilegal yang terjadi di Bandara Internasional Supadio diantaranya, kasus penyeludupan 25 kilogram emas batangan senilai sekitar Rp4,5 miliar yang terjadi pada sekitar Desember 2006 dan Januari 2007.
Dalam kasus ini juga melibatkan oknum personel TNI Angkatan Udara dan petugas sinar X Angkasa Pura II yang membantu meloloskan emas melewati pemeriksaan awal.
Ada juga kasus penyelundupan enam kilogram emas illegal pada November 2014. Penangkapan dilakukan terhadap pemilik emas berinisial SH alias Ahie, yang diduga merupakan bagian dari jaringan peredaran emas ilegal dari daerah PETI seperti Singkawang dan Bengkayang.
Kemudian kasus penyulundupan belasan kilogram emas pada Mei 2023. Dalam kasus ini, pelaku berinisial ATR diduga melakukan manipulasi manifes (dokumen pengiriman barang) untuk meloloskan emas tersebut ke Jakarta.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena adanya dugaan bahwa pelaku dan barang bukti sempat tidak ditindaklanjuti secara hukum, memicu kritik dari praktisi hukum.
Masih Marak
Meski operasi penindakan kerap dilakukan oleh aparat penegak hukum, namun aktivitas PETI di berbagai wilayah Kalbar saat ini masih marak dan terus terjadi.
Dari penyusuran Suara Pemred, kegiatan tambang emas ilegal masih beroperasi di sejumlah daerah. Dan mirisnya sebagaian besar banyak menggunakan alat-alat berat. Diantaranya di Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sanggau, Sekadau, Landak, Bengkayang, Singkawang, Sambas, dan Kabupaten Mempawah.
Aktivitas ini memiliki jaringan yang sangat terorganisir dan rapi. Mulai dari pemodal, pekerja, koordinator, beking aparat atau pengaman, penyuplai BBM, hingga setoran ke berbagai pihak dan penadah.
“Sebenarnya sangat mudah jika ingin menangkap para cukong emas ilegal dan siapa yang membekinginya. Tahan saja, alat-alat berat itu, pasti ada tuannya, karena alat-alat berat itu harganya tidak murah, bahkan ada yang miliaran rupiah. Itu pun jika memang aparat punya niat. Tapi jika memang sudah menjadi satu sindikat, ya harusnya ada tim dari pusat yang membereskan itu semua,” kata Asnawar salah satu tokoh pemuda di Ketapang kepada Suara Pemred.
Dari sejumlah keterangan, bahkan ada beberapa kawasan tambang ilegal sudah menyerupai kampung yang beroperasi siang dan malam.
“Di sana (lokasi tambang ilegal) mereka seperti memiliki kota sendiri, semua lengkap dan semua ada yang pasok, mulai dari kebutuhan makanan, minuman, selang, dompeng, alat berat, mekanik, BBM ilegal hingga narkoba. Semua ada,” ungkap Madin, mekanik alat berat di lokasi tambang ilegal di Ketapang.
Kemudian yang tak kalah mengejutkan, sejumlah nama-nama cukong penadah dan pemodal tambang emas ilegal saat ini masih aman tak tersentuh hukum, meski telah lama menjalan bisnis ileggalnya.
Sejumlah nama tersebut di antara, Aliong cs, Jojon dan Ana untuk wilayah Kota Singkawang, Bengkayang, dan Mempawah. Sedangkan untuk kawasan tambang emas ilegal di Kapuas Hulu dan Sintang dikuasai Acok Naga Mas dan wilayah Melawi dipegang oleh Akong serta Asit untuk Kabupateng Sanggau dan sekitarnya
“Di Kapuas Hulu dan Sintang yang dikuasai Acok Naga Mas bahkan bisa menghasilkan 150-200 kilogram emas ilegal per bulan,” ungkap salah satu sumber yang namanya tak ingin disebutkan.
Bos atau pemodal utama dalam jaringan PETI ini umumnya tidak terlibat langsung dalam aktivitas di lapangan, melainkan beroperasi dari balik layar. Mereka menggunakan kaki tangan dan membayar para pekerja lokal.
Mereka juga diyakini mengendalikan operasi di berbagai wilayah, menyediakan pendanaan penuh, dan memiliki jaringan yang terstruktur. Hal yang paling disoroti adalah kemampuan para bos ini untuk mendapatkan perlindungan hukum dan sokongan dari oknum aparat atau pihak berkuasa.
Jaringan koneksi yang kuat ini menjadi faktor utama mengapa mereka sulit dijerat hukum dan mengapa penegakan hukum seringkali hanya menyentuh para pekerja atau pelaksana lapangan yang dianggap "kaki tangan" atau "tumbal".
Anggota Komisi XII DPR RI, Jamaludin Malik, secara terbuka juga menyatakan keprihatinannya terhadap maraknya PETI di Kalbar. Ia menyebut ada indikasi kuat praktik tambang ilegal ini mendapat perlindungan dari oknum aparat. “Pemodal PETI di Kalbar tidak pernah tersentuh hukum. Yang ditangkap selalu pekerja lapangan,” ujarnya saat mengikuti rapat kerja terbuka belum lama ini.
Jamaludin menjelaskan, data menunjukkan bahwa kerugian negara akibat pertambangan ilegal sudah mencapai skala luar biasa. Di sektor timah, misalnya, kerugian negara ditaksir hingga Rp300 triliun sepanjang 2015-2022, di mana sekitar Rp271 triliun merupakan kerugian lingkungan akibat kerusakan kawasan hutan dan non-kawasan.
Di sektor lain seperti pertambangan emas ilegal di Kalbar, menurut dia, kerugian negara mencapai Rp1,02 triliun hanya dari satu wilayah saja.
Menurut dia, pemerintah memperkirakan kerugian akibat praktik pertambangan ilegal bisa mencapai Rp300 triliun per tahun dari potensi pajak, royalti, dan kewajiban negara yang tidak disetorkan. (hd/dok)