Opini post authorBob 22 Maret 2025

Di Antara Tarawih dan Etalase

Photo of Di Antara Tarawih dan Etalase Syamsul Kurniawan Ketua Lembaga Hubungan Umat Beragama dan Peradaban, PW Muhammadiyah Kalimantan Barat

AZAN Isya menggema di langit malam. Suaranya mengalir pelan, menembus sela-sela gang dan lorong-lorong kota, menyeru umat menuju masjid.

Di sepuluh malam terakhir Ramadhan, langkah kaki mestinya lebih tergesa, hati lebih siap bersimpuh, menjemput malam-malam ganjil dengan khusyuk.

Namun, jalan menuju masjid tampak lengang. Di sisi lain kota, lorong demi lorong mal dan pusat perbelanjaan justru padat.

Anak-anak muda berdiri di depan cermin ruang ganti, orang tua menimbang-nimbang harga, ibu-ibu sibuk memilah model dan motif.

Semua—berburu baju baru.
Apakah ini sebuah kebutuhan? Atau hanya budaya? Atau, lebih jauh, ilusi? Mungkin, dalam peradaban yang telah dibungkus plastik warna-warni, jawaban itu perlu ditelisik lebih dalam.

Panggung Kebutuhan
Abraham Maslow (1943) menyusun teori hierarki kebutuhan, dari yang paling dasar hingga yang paling luhur: aktualisasi diri. Sepanjang Ramadhan, spiritualitas kita diasah: puasa, sedekah, zikir, tarawih.

Tapi menjelang Lebaran, fokus mulai bergeser. Jiwa lapar akan pengakuan, identitas, status.

Baju baru bukan sekadar pelindung tubuh. Ia lambang. Ia isyarat. Dalam perayaan yang suci, ia tampil sebagai medali sosial: bahwa seseorang layak dianggap sukses, mampu, dan layak dihormati.

Tapi siapa yang menentukan makna baju baru? Siapa yang menyematkan nilai pada kain?

Karl Marx menyebutnya sebagai “fetisisme komoditas.” Kita memberi makna berlebihan pada benda. Kapitalisme, katanya, bukan hanya sistem ekonomi—ia mesin pembentuk hasrat. Kita tak sekadar membeli baju; kita membeli pengakuan, posisi sosial, bahkan kebahagiaan semu.

Media massa, iklan, bahkan konten influencer, menjadi mimbar baru dalam menanamkan nilai. Kita dijejali visual: keluarga ideal dengan pakaian senada, senyum yang dipoles dengan pencahayaan lembut, momen Lebaran yang sempurna dengan balutan baru.

Kita tak lagi merayakan Hari Raya dengan hati, tetapi dengan merek. Di titik ini, Maslow dan Marx bertemu: kebutuhan akan penghargaan direkayasa pasar, dan kebutuhan itu terus dibisikkan oleh layar gawai.

Anehnya, yang tertindas oleh sistem ini justru berlomba-lomba masuk dalam perlombaan. Mereka yang hidup pas-pasan, justru merasa paling perlu membeli yang baru. Tekanan sosial menjelma keharusan. Jika tidak membeli, maka malu; jika membeli, maka bangga.

Dan inilah wajah lain dari kapitalisme: ia tak hanya menciptakan kebutuhan palsu, tetapi juga rasa bersalah palsu jika kebutuhan itu tak terpenuhi.

Ketimpangan sosial tampak di lorong toko. Bagi kelas menengah atas, baju baru adalah keniscayaan tahunan, bahkan bagian dari gaya hidup.

Tapi bagi mereka yang hidup dari hari ke hari, membeli baju baru adalah perjuangan. Namun, tekanan sosial membuatnya seperti ibadah lain yang tak bisa ditinggalkan.

Kapitalisme menjadikan baju sebagai barometer prestise. Tapi apa yang sebenarnya dipakai? Pakaian? Atau kehendak pasar?
Fenomena ini menyiratkan bahwa kita hidup dalam struktur yang mendefinisikan nilai bukan dari dalam, tetapi dari luar.

Bukan dari iman, tetapi dari etalase. Bukan dari kesalehan, tetapi dari kebaruan. Kita terperangkap dalam norma sosial yang diciptakan iklan dan diperkuat oleh kebiasaan turun-temurun.

Antara Identitas dan Ilusi
Pada akhirnya, berburu baju baru bukan hanya soal kain, ukuran, atau potongan. Ia soal identitas. Kita ingin tampil sebagai bagian dari masyarakat, bagian dari kegembiraan kolektif, bagian dari mereka yang "berhasil." Maslow benar: kita butuh diakui.

Tapi, pengakuan macam apa yang kita kejar?
Kapitalisme menjanjikan kebahagiaan yang bisa dibeli.

Tapi seperti balon sabun, kebahagiaan itu indah tapi rapuh. Sehabis Lebaran, baju itu akan tergantung di lemari, dan kita kembali pada keseharian yang sama.

Yang berubah hanya tampilan, bukan jiwa.
Ramadhan adalah bulan untuk memperlambat dunia dan mempercepat jiwa. Tapi di tengah sorotan diskon dan promo, keheningan itu tercuri. Ibadah menjadi formalitas.

Perenungan menjadi sekilas. Spiritualitas dikalahkan oleh algoritma dan voucher belanja.

Baju baru memang tidak salah. Tapi jika ia menjadi tujuan, bukan pelengkap; jika ia menggantikan makna, bukan menyertainya—maka ada yang perlu kita renungkan kembali.

Barangkali, Ramadhan perlu kita rebut kembali: dari tangan kapitalisme, dari jerat konsumerisme, dari ilusi akan nilai diri yang ditentukan oleh harga barang.
Kembali pada Makna

Kita hidup dalam dunia yang menjadikan penampilan sebagai standar nilai. Tapi sejarah spiritual umat manusia selalu mengajarkan sebaliknya: bahwa nilai sejati ada pada niat, pada kesederhanaan, pada kebaikan yang tak terlihat kamera.

Kita butuh revolusi. Tapi bukan revolusi berdarah, melainkan revolusi makna. Agar kita kembali mengukur diri bukan dari pakaian, melainkan dari kasih sayang yang kita berikan.

Bukan dari tren, melainkan dari doa yang diam-diam kita panjatkan.
Baju baru tak perlu dihapuskan. Tapi maknanya harus dikembalikan. Ia adalah simbol penyambutan hari suci, bukan pembuktian status sosial.

Di malam-malam terakhir Ramadhan ini, marilah kita pelan-pelan melepaskan diri dari ilusi. Menepi dari hingar-bingar pusat belanja, dan kembali menautkan hati pada pusat makna.

Sebab, pada akhirnya, kebahagiaan tidak akan ditemukan dalam etalase. Ia ada dalam jiwa yang tenang dan hati yang lapang.***

Keywords

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda