HARAPAN atau raja’ dalam tradisi Islam, bahkan mungkin dalam tradisi agama-agama di dunia adalah bagian dari fungsi agama. Berita tentang surga dan neraka adalah contoh keadaan masa depan manusia yang diberitakan oleh agama, sehingga dalam hal ini kajian tentang masa depan semestinya juga tidak asing bagi umat beragama.
Walau demikian, kajian-kajian masa depan dalam kerangka jangkauan manusia tentu tidak harus bertindak sekedar menerka tanpa landasan yang jelas. Karena itu, pembicaarn mengenai masa depan yang dimaksudkan bukan berarti manusia bertindak seperti ‘dukun peramal’ yang bekerja tanpa dasar dan penjelasan, sehingga jikapun benar maka tetaplah sebenarnya dia tidak tahu apa-apa kaddzabal munajjimun walau shodaqu.
Sebagai sebuah ilustrasi mengenai karakteristik kajian futuristik barangkali juga dapat kita temukan pada ayat perintah berpuasa yang selama bulan Ramadhan ini ayat tersebut begitu sangat populer.
Ayat 183 dari surah Al-Baqarah ini secara garis besar berisi perintah berpuasa kemudian berikutnya adalah akibat pasca puasa yang dituangkan dalam kalimat la’allakum tattaqun semoga kalian bertaqwa. Kalimat penutup tersebut bersifat futuristik namun disampaikan bersamaan dengan isntruksi berpuasa.
Dalam ayat tersebut, keadaan masa depan orang yang melaksanakan puasa telah diprediksikan yang kemungkinan akan menjadi orang yang Muttaqun. Dengan pemahaman yang lebih sederhana, ayat tersebut mengajarkan bahwa prediksi keadaan masa depan itu sudah dapat ditentukan sejak dari awal, melalui tanda bahasa (perintah) hingga tanda sosial-historis dalam kalimat kama kutiba ‘alal ladzina min qoblikum sehingga puncaknya prediksi itu dapat disimpulkan.
Belajar dari ayat dan cara Allah memberikan petunjuk melalui perintah puasa tersebut, semestinya fakta sosial saat ini juga dapat menjadi tanda untuk menentukan keadaan masa depan. Fakta sosial saat ini kita dihadapkan oleh kehadiran Covid-19 yang telah memporak porandakan seluruh lini kehidupan sosial. Fakta sosial ini sedikit berbeda susunannya dengan ayat perintah puasa yang disampaikan runtut, mulai dari kejelasan klaim yaitu sebagai perintah, kemudian fakta sosial dan diakhiri dengankesimpulan.
Kehadiran Covid-19 dan fakta sosial hadir tanpa klaim lebih dulu, karena itu disini kita tidak dapat langsung menentukan keadaan futiristik kita sebelum munculny klaim.
Jika melihat gejala yang mengemuka, terutama di laman media sosial dan aplikasi pesan pribadi, masyarakat Indonesia tenggelam dalam suatu claim frame yang menetapkan bahwa covid-19 ini adalah wabah yang sengaja didesain oleh kepentingan kelompok tertentu.
Bahkan tidak hanya masyarakat awam, beberapa hari terakhir ini juga terjadi tudingan yang cukup keras antara negara besar yang saling menuding sebagai penanggungjawab dari mewabahnya Corona.
Artinya, fenomena ini menandakan bahwa fakta sosial yang saat ini terjadi adalah akibat dari pengaturan pihak-pihak luar di luar dari ‘kita sendiri’ sebagai bagian dari fakta sosial.
Jika kita mengklaim bahwa corona ini adalah fakta yang didesain oleh pihak-pihak lain, berarti kita sedang mengajukan diri dalam ketidak berdayaan hingga suatu saat hanya berharap ada kekuatan lain lagi yang juga mendesain kita keluar dan bebas dari corona, sementara kita sendiri tidak punya pilihan kecuali terlempar dari suatu keadaan pada keadaan yang lain.
Fenonema di atas dalam bahasa Michael Foucault disebut dengan modern prison, yaitu gambarandunia yang menjadi penjara bagi para penghuninya.
Teori ini sejatinya tidak sekotor dugaan populer yang terlanjur menjadi sebuah keyakinan, dimana kehidupan ini selalu ditentukan oleh perselingkuhan ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Dua hal tesebut sejatinya adalah kekuatan yang dapat digunakan secara positif oleh setiap kamunitas dalam hal ini Negara untuk keluar dari modern prison ke arah human progressive (peningkatan kemanusiaan).
Namun hal itu sepertinya cukup sulit untuk kita pilih, mengingat determiner (penentu) laju kesuksesan dari teori ini sangat bergantung pada bahan bakar modernisme, yaitu ekonomi dan industri. Hal yang lebih sangat mengkhawatirkan lagi adalah, pemahaman masyarakat umum mengenai teori ini juga tidak komprehensif, sehingga justru meninggalkan kesan negatif dengan mengedentifikasi fakta sosial saat ini adalah kehadiran dunia yang tidak dapat dielakkan lagi dalam bahasa teologi Islam mendorong sesorang pada paham jabariah.
Secara terpaksa menurut Anthony Giddens kita harus berani mengajukan diri sebagai creator (pencipta, dalang) bukan menunjuk-nunjuk bangsa lain yang menjadi dalang. Konsekuensi creator memang tidak mudah, butuh kerja jeras.
Pertama melakukan discursive consciousness untuk menelaah apa yang kini sedang terjadi. Kedua, melakukan legitimasi atau menyatakan status pada covid-19 ini, sehingga kita dapat menentukan apa yang harus kita lakukan. Ketiga, melakuan penundukan (domination-submission) dengan menggunakan sumber-sumber kekuatan non-material yaitu capability (kemampuan intevensi), knowlegeability (kecerdasan), dentiity (budaya) dan routine (keteguhan berproses).
Jika hal di atas sudah kita lakukan, perjuangan belum berakhir tapi akan masuk pada laga yang sesungguhnya kita akan melawan kekuatan besar lainnya yang disebut dengan dialektika Macro vs Micro.
Walaupun dalam laga puncak ini kita tidak lantas langsung menentukan dunia pasca covid-19, namun setidaknya menurut Giddens apa yang terjadi nanti kita menjadi bagian yang memiliki dunia pasca covid-19.
Karena teori ini pada puncaknya adalah social integration dan system integration (kesepakatan bersama)bukan domination (milik sebagian kelompok).
Seiring dengan semangat puasa dan dengan keberanian kita menjadi aktor-creator kita bisa menuju kemenangan, jika mungkinbelum sempurna memenangkan pertarungan ini, namun setidaknya kita menjadi bagian dari para pemenang. Seperti halnya orang yang telah berpuasa, tentu layak medapatkan predikat sebagai bagian dari muutaqin walau dengan kadarnya masing-masing. Wallahu a’lam bil showab. (*)