KURANG signifikannya kuota ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia ke India, Pakistan dan China, setidaknya, bisa tertolong lewat dua kebijakan pemerintah. Pertama, realisasi Program B40 pada 2021. Kedua, pemerintah memberlakukan insentif pajak atas impor produk tiga negara tersebut yang selama ini notabene merupakan pasar utama ekspor CPO Indonesia.
Dari data yang dirangkum Suara Pemred hingga Selasa (29/12), dua kebijakan tersebut sangat penting. Dengan adanya insentif tersebut maka 'gayung dipastikan bersambut': bakal besar pula keran ekspor CPO Indonesia berikut harganya ke negara-negara tersebut.
Adapun terkait Program B40, pemerintah mencanangkan pengembangan biodiesel menjadi B40 -yang masih B30- terwujud pada medio 2021. Program B30 mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel dengan 70 persen bahan bakar minyak (BBM) jenis solar; Program B40 mewajibkan BBM dari campuran 40 persen bahan bakar nabati, di mana D100-nya digunakan 10 persen.
Lewat Program B40 maka akan terjadi serapan yang sangat tinggi untuk CPO dari dalam negeri yang selama ini lebih mengutamakan pasar ekspor. Menurut Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna, persiapan pelaksanaan mandatori B40 sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, masih mengalami beberapa tantangan.
Andriah sebagaimana dilansir CNBC (14/12), menyatakan bahwa tantangan tersebut datang dari aspek teknologi, teknis, finansial, feedstock (bahan baku) termasuk CPO dari negeri sendiri, serta infrastruktur pendukung. Berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk penerapan B40, bahkan hingga B50, antara lain, meningkatkan kapasitas produksi Badan Usaha Bahan bakar Nabati (BU BBN), memperbaiki spesifikasi biodiesel, memperhatikan ketersediaan dana insentif, meningkatkan sarana dan prasarana BU BBN, dan melaksanakan uji jalan untuk seluruh sektor pengguna.
Beberapa upaya persiapan yang sudah dilaksanakan menuju implementasi program B40, antara lain, kajian teknis dan keekonomian. Hasilnya digunakan untuk merevisi SNI biodiesel, terkait spesifikasi yang akan digunakan untuk B40 atau B50, serta penyusunan SNI green fuel.
Pihaknya menyambut pula prestasii petani sawit dari negeri sendiri yang sudah dapat menghasilkan green fuel D100 sehingga dapat menjadi opsi untuk campuran B40 atau B50. "B30 ke B40, artinya semakin besar volume dari biodiesel yang akan dikirimkan, kemudian juga distribusinya, dan bagaimana untuk lingkungannya. Ini juga harus disiapkan dari sekarang," tegasnya.
Harga CPO di pasar dunia sendiri masih tinggi walaupun kuota ekspornya ke India, Pakistan dan China, naik-turun. Tapi yang pasti, nasib CPO bakal sangat tertolong lewat Program B40. Argumen Andriah Feby Misna bahwa salah satu kendala terealisasinya Program B40 adalah terkait minimnya stok CPO, sebenarnya tak perlu terjadi. Dalam kondisi naik-turunnya kuota impor dari pemerintah negara-negara tujuan, CPO dalam negeri bisa pula dialihkan sebagai bahan baku bahan bakar B40.
Menurut Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga yang juga Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), harga CPO pada 2021 memang tetap tinggi. Sebab, produksi minyak nabati lainnya turun. “Jadi, ini adalah rumus supply dan demand, Apalagi per Juli 2021 ada blending B30 dengan B40 maka akan lebih menarik,” jelas Sahat sebagaimana dilansir laman Kontan (18/12).
Turunnya ekspor CPO ke India, Pakistan dan China, tak lepas dari dampak badai pandemi Covid-19. Executive Director Solvent Extractor Association of India, Dr BV Metha mengakui, konsumsi CPO di negaranya menurun hingga 30 persen akibat dampak pandemi tersebut.
Di India, impor CPO turun dari 9,4 juta ton pada 2019, menjadi 7,2 juta ton hingga Oktober 2020. Penurunan ini juga disebabkan kebijakan yang dibuat pemerintah India mengenai Bea Masuk Safeguard produk impor CPO dan turunannya.
Sementara dari China, Presiden Chamber of Commerce for Import and Export of Foodstuff Native Produce and Animal By-Product China, Cao Derong menyatakan, penurunan konsumsi minyak sawit terjadi pula di negaranya. Pada Kuartal pertama 2020, impor CPO turun menjadi 320 ribu ton, dan terus menyusut hingga Juni lalu.
Menurut Cao dalam webinar Indonesian Palm Oil Conference 2020 (3/12) , volume impor sejak Juni 2020 mulai naik dengan year on year (yoy) mencapai 25,5 persen, seiring dengan kebijakan penanganan wabah Covid- 19 oleh pemerintahnya. "Minyak sawit merupakan minyak nabati impor terbesar di Tiongkok. Konsumsi minyak sawit di Tiongkok mencapai 40 persen dari total konsumsi yakni untuk industri kimia," ujar Cao.
Pada 2019, Tiongkok mengimpor 8,48 juta ton minyak sawit atau 66 persen dari total impor minyak nabati di Tiongkok. Sebanyak 6,02 juta ton di antaranya diimpor dari Indonesia. Karena permintaan pasar yang cukup tinggi, Tiongkok bergantung pada impor minyak nabati, terutama CPO.
Hal yang sama pun terjadi di Pakistan di mana 76 persen impor CPO-nya dari Indonesia. Namun, di sana terjadi penurunan impor minyak sawit hingga Oktober 2020 yang hanya mencapai 2,3 juta ton. Ketua Pakistan Edible Oil Refiner Association (PEORA) Abdul Rasheed Jan Mohammad pun ragu jika impor CPO bisa mencapai tiga juta ton hingga akhir 2020. "Penurunan ini akibat pandemi yang terjadi pada semester I, dan harga minyak sawit yang tinggi sejak pertengahan tahun,"katanya.
Ketiga negara tersebut mengklaim permintaan minyak sawit akan kembali meningkat. Hal ini disebabkan kebutuhan akan pangan, kosmetik yang berbahan baku minyak nabati, melihat ketiga negara tersebut merupakan padat penduduk.
Hanya saja, Pemerintah Indonesia diingatkan bahwa penerapan bea masuk atas produk impor India dan Pakistan di Indonesia, sebaliknya bisa menjadi kendala ekspor CPO Indonesia ke dua negara ini. China bahkan mengingatkan Pemerintah Indonesia bahwa Pemerintah Malaysia memiliki kebijakan insentif yang besar untuk ekspornya ke negeri jiran tersebut. Itu sebabnya harga jual CPO dari Malaysia ke China lebih tinggi dibandingkan dari Indonesia. Akibatnya, terjadi gap harga CPO antara produk Indonesia dan Malaysia yang bisa berakibat turunnya pengadaan CPO Indonesia ke China.
Ketua DMSI, Derom Bangun dalam diskusi virtual (18/11) mengakui, produksi CPO Indonesia diperkirakan akan meningkat pada 2021. Namun, peningkatannya tidak akan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi CPO Indonesia pada 2020 mencapai 47 juta ton.
Produksi ini diperkirakan bertambah lagi pada 2021 menjadi 48,5 juta ton atau 48 juta ton, atau bisa pula 46,8 juta ton. Sebab dalam kuartal IV produksi CPO biasanya lebih rendah dari kuartal sebelumnya. Tapi pada 2021, kebutuhan CPO di dalam negeri pun dipredikasi akan sangat meningkat jika program B40 sudah terealisasi.(pat)