PONTIANAK, SP – Sejumlah oknum preman beragama Katolik, keroyok Pastor Adipati dan Pastor Matias, masuk kategori sakrilegi untuk di-ekskomunikasi dari komunitas Gereja Katolik.,
Ekskomunikasi berupa pengucilan dari anggota Gereja Katolik, karena dilakukan dengan sadar saat korban mengaku sebagai Pastor Adipati dari Paroki Toba, Keuskupan Sanggau.
Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengatakan, Uskup Sanggau mesti lapor Kedutaan Vatikan atas pengeroyokan Pastor.
Yulius Yohanes, mengatakan, pengeroyokan terhadap pejabat Gereja merupakan pelangaran berat, sehingga secara kronologisnya mesti diketahui Kedutaan Vatikan.
Pukul 21.31 WIB, Jumat, 18 Agustus 2023, Pastor Adipati Yunus Wilfred Manek SVD dan Pastor Matias jadi korban pengeroyokan oknum preman, di antaranya beragama Katolik.
Pastor Adipati dan Pastor, terus korban pengeroyokan oknum preman di Desa Lingga, Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.
Saat meminta maaf dan memperkenalkan diri sebagai Pastor dari Keuskupan Sanggau, para oknum preman kelas kecoak, itu tetap saja melakukan pengeroyokan.
Salah satu pelaku pengeroyokan Pastor Adipati dan Pastor Matias bernama Ardi, warga Dusun Pancaroba, RT 005/RW 001, Desa Pancacoba, lahir 20 Mei 1991 (30 tahun).
Mengantisipasi Pastor Adipati dan Pastor Matias menjadi bulan-bulan korban pengeroyokan oknum preman, warga membawa korban ke Kantor Polisi Sektor Ambawang.
Di Kantor Polisi Sektor Ambawang, kedua belah pihak sepakat diselesaikan secara kekeluargaan.
Kronologis kejadian, sebuah mobil yang melaju dari belakang, berupaya mendahului mobil ditumpang Pastor Adipati dan Pastor Matias.
Saat berhenti menyalip, rombongan oknum preman menghentikan laju kendaraan roda empat ditumpangi Pastor Adipati dan Pastor Matas, sehingga terjadi pengeroyokan.
Para pelaku ada di antaanya beragama Katolik, tidak peduli dan terus melakukan pengeroyokan, sehingga dihentikan warga dan dibawa ke Kantor Polisi Sektor Ambawang.
Saat tiba di Toba, Kabupaten Sanggau, umat Katolik di wilayah itu, tidak terima dan membuat Laporan Polisi di Polisi Sektor Ambawang, Senin siang, 21 Agustus 2023.
Pengeroyokan terhada Pejabat Gereja, masuk dosa sakrilegi atau sakrilegium adalah bentuk tindakan pencemaran atau penodaan terhadap kehormatan unsur-unsur Gereja.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus SH, mengatakan, bentuk tindakan penodaan atau pencemaran kehormatan unsur Gereja, ada 5 bentuk.
Pertama, dengan memperlakukan secara tidak pantas seseorang atau sekelompok orang yang telah dikhususkan atau mengkhususkan hidupnya untuk Allah.
Seperti rohaniawan dan biarawan atau biarawati, misalnya melukai mereka secara fisik maupun batin.
Kedua, dengan menerima sakramen secara tidak pantas, semisal menerima Komuni dalam keadaan berdosa berat.
Semisal telah membunuh seseorang namun tetap menerima komuni tanpa melakukan rekonsiliasi.
Ketiga, dengan menyalahgunkana dan menodai benda kudus dan gambar kudus seperti relikui dan peralatan ekaristi atau dengan merampok, merusak.
Kemudian, menyalahgunakan piala atau benda serta pakaian ibadat untuk maksud yang tidak sesuai dengan kegunaannya.
Keempat, dengan merampas milik Gereja.
Kelima, dengan mencemarkan tempat terberkati seperti gereja atau kuburan Kristen dengan melakukan perbuatan yang tidak pantas dilakukan di dalamnya.
Semisal berdagang dan membunuh.
Pastor Richard Mwebe, Staf Pengajar Seminari Tinggi Santa Marry Ggaba Uganda, dalam newvision.co.ug, mengatakan, perilaku buruk terhadap Pejabat Gereja, dosa sakrilegi.
Dosa sakrilegi hukum terberat sesuai kanonik, pengucilan dari anggota Gereja Katolik dalam periode tertentu tidak boleh menerima Komuni Kudus, setiap kali Perayaan Ekaristi.
Pengucilan atau eksomunikasi dikeluarkan Gereja Katolik maksudnya bukan untuk menghukum.
Melainkan sanksi untuk menyembuhkan (bdk. kan 1312,1) sebagai prosedur formal Gereja Katolik kepada umat Katolik menyatakan mereka berstatus di luar komunitas Gereja.
Ekskomunikasi karena pelanggaran berat, seperti penyebaran ajaran sesat, tidak mematuhi otoritas Magisterium Gereja, dan sebagainya.
Alasan dikenakan ekskomunikasi untuk melindungi kesatuan umat.
Supaya jangan sampai terlalu banyak orang menjadi bingung dan tersesat karena pengaruh dari orang yang melanggar tersebut.
Orang yang terkena sangsi ekskomunikasi bukan berarti sudah tidak Katolik lagi, sebab rahmat Pembaptisan tidak dapat dihapus.
Hanya saja, seperti dalam kanonik 1331, mereka tidak dapat berpartisipasi di dalam menyambut Ekaristi kudus, dan sakramen-sakramen lainnya, dan dalam tugas ministerial liturgy.
Atau jika ia pastor/kaum klerik, maka tidak dapat lagi menjalankan tugas-tugasnya sebagai pastor/klerik.
Namun mereka masih tetap boleh (bahkan dianjurkan) datang ke Misa Kudus seperti biasa.
Maksud pemberian sanksi ekskomunikasi supaya mereka yang melanggar peraturan dapat memeriksa dan memperbaiki diri dan bertobat melalui Sakramen Pengakuan Dosa.
Absolusi umumnya diberikan oleh Uskup/Ordinaris wilayah, ataupun oleh pastor tertentu yang telah diberi kuasa oleh Uskup untuk memberikan absolusi.
Maksud yang lain adalah tentu untuk membatasi pengaruh negatif pada umat yang lain.
Jika orang yang melanggar peraturan mengakui dan bertobat dari kesalahannya, maka sangsi ekskomunikasi termasuk diangkat oleh pihak otoritas Gereja.
“Pelaku sakrilegi sebagai kategori dosa berat, kecuali pelaku dalam keadaan tidak sadar,” kata Petrus Selestinus.
“Kecuali saat pelaku dalam keadaan pengaruh alkohol, bisa dipertimbangkan,” kata Petrus Selestinus. ***