Opini post authorBob 16 Desember 2024

Menyelamatkan Pantun

Photo of Menyelamatkan Pantun Syamsul Kurniawan, Anggota Departemen Pendidikan dan Pelatihan. Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat

PANTUN, adalah sebuah warisan budaya Melayu yang kaya dengan makna, simbolisme, dan estetika. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, terutama dalam konteks digitalisasi yang semakin mendominasi kehidupan sosial kita, keberadaan pantun mulai terpinggirkan.

Meski telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada 17 Desember 2020, tantangan untuk mempertahankan pantun dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mudah.

Di sinilah kita perlu mempertimbangkan pemikiran Jurgen Habermas tentang ruang publik sebagai lensa untuk menganalisis relevansi pantun dalam dunia kontemporer.

Dalam kerangka pemikiran Habermas (1991), ruang publik adalah arena komunikasi di mana individu bisa berinteraksi secara rasional dan bebas untuk membentuk opini bersama.

Ruang publik ini, dalam kontras dengan ruang privat, memungkinkan terbentuknya konsensus yang berdasarkan pada diskusi bebas tanpa paksaan atau dominasi pihak tertentu.

Pantun, sebagai bentuk komunikasi tradisional masyarakat Melayu, dapat dipahami sebagai bagian dari ruang publik ini, yang digunakan untuk menyampaikan pesan moral, sosial, dan estetika dalam kerangka yang terstruktur dan penuh makna.

Namun, dalam era digital, terutama dengan dominasi media sosial yang menawarkan komunikasi instan, ruang publik telah mengalami transformasi yang signifikan.

Dalam dunia digital, komunikasi lebih sering didominasi oleh informasi yang cepat dan mudah dikonsumsi, tanpa banyak perhatian pada kedalaman makna.

Pantun yang dulu digunakan untuk menyampaikan perasaan, cerita, dan nilai-nilai budaya, kini sering kali terpinggirkan, atau bahkan dipermainkan sebagai bahan hiburan belaka.

Ini menciptakan krisis dalam ruang publik, di mana informasi yang tidak lagi mengutamakan kedalaman dan substansi menjadi norma baru.

Habermas menggambarkan ruang publik sebagai tempat yang ideal untuk komunikasi rasional, di mana setiap individu dapat berbicara dengan suara yang setara dan saling menghargai, sehingga membentuk konsensus yang lebih inklusif.

Dalam konteks pantun, hal ini berarti bahwa pantun tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga sarana untuk mempertemukan berbagai suara dalam masyarakat.

Namun, untuk mencapainya, kita harus mempertanyakan kembali bagaimana pantun dapat bertahan di tengah arus komunikasi instan yang lebih mengutamakan hiburan dibandingkan kedalaman makna.

Pantun adalah ekspresi budaya yang memerlukan pemahaman terhadap struktur bahasa dan nilai sosial yang terkandung di dalamnya.

Dulu, pantun menjadi alat komunikasi yang mengedepankan estetika dan kecerdasan berbahasa. Namun, dalam ruang publik digital saat ini, pantun sering kali disederhanakan menjadi permainan kata yang kehilangan konteks sosial dan budaya.

Ini adalah tantangan besar, karena dalam kerangka Habermas, ruang publik yang sehat harus tetap menjaga keberagaman suara dan kedalaman makna dalam komunikasi.

Seiring dengan berkembangnya media sosial, seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, pantun memiliki potensi untuk kembali dimasukkan ke dalam ruang publik digital.

Platform-platform ini memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan cara yang lebih kreatif, sekaligus mengangkat kembali warisan budaya yang terpinggirkan.

Di sinilah pentingnya merayakan Hari Pantun Nasional pada 17 Desember, yang tidak hanya menjadi ajang perayaan budaya, tetapi juga sebagai langkah untuk memasukkan pantun ke dalam ruang publik digital yang lebih luas.

Namun, adaptasi pantun dalam ruang publik digital tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Pantun harus diposisikan kembali sebagai sarana komunikasi yang penuh makna dan kedalaman.

Media sosial sering kali menjadi ruang di mana makna dibalik komunikasi seringkali tereduksi menjadi hiburan atau konsumsi yang cepat.

Dalam dunia yang serba instan ini, pantun berisiko terjebak dalam pergeseran makna, di mana bentuk dan keindahan bahasa lebih penting daripada pesan yang disampaikan.

Habermas mengingatkan kita tentang pentingnya komunikasi yang rasional dalam ruang publik. Ini adalah komunikasi yang tidak hanya mengutamakan efisiensi atau hiburan, tetapi juga kedalaman dan pemahaman bersama.

Dalam hal ini, kita harus mengembalikan pantun kepada esensinya, yaitu sebagai alat untuk menciptakan ruang publik yang menghargai kearifan lokal dan memperkuat identitas budaya.

Pantun yang dipandang hanya sebagai hiburan semata mengabaikan potensi besar yang dimilikinya untuk membentuk opini publik yang sehat dan bermakna.

Salah satu cara untuk mengembalikan pantun ke dalam ruang publik adalah dengan menjadikannya sebagai alat pembeda atau distinction dalam masyarakat digital.

Dalam teori Habermas, ruang publik berfungsi untuk menciptakan kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dalam masyarakat yang semakin terhubung melalui teknologi digital, pantun bisa menjadi simbol budaya yang menunjukkan kedalaman intelektual dan kesadaran budaya.

Dengan demikian, pantun berfungsi sebagai pembeda yang menegaskan identitas budaya Melayu di tengah dominasi budaya global yang sering kali mengabaikan akar budaya lokal.

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi pantun dalam ruang publik digital adalah dominasi simulasi dalam media sosial.

Jean Baudrillard (1994) menggambarkan fenomena ini sebagai keadaan di mana representasi telah menggantikan kenyataan itu sendiri. Dalam dunia digital, komunikasi sering kali terlepas dari konteks dan makna yang sesungguhnya.

Ini sangat terlihat dalam penggunaan pantun yang disederhanakan menjadi sekadar bahan hiburan tanpa memperhatikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Untuk itu, penting untuk memperkenalkan pantun kembali dalam ruang publik dengan cara yang lebih otentik dan bermakna.

Pantun, dengan segala kompleksitas bahasanya, harus diposisikan kembali sebagai komunikasi yang mengandung makna mendalam, bukan hanya sebagai alat untuk menarik perhatian atau sekadar konten viral.

Dalam kerangka ruang publik Habermas, pantun memiliki potensi untuk menjadi sarana diskusi yang konstruktif dan memperkaya percakapan sosial.

Melalui Hari Pantun Nasional, kita bisa mendorong generasi muda untuk melihat pantun bukan hanya sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai alat untuk berkomunikasi dalam dunia digital yang serba cepat dan instan.

Salah satu cara untuk menghidupkan kembali pantun adalah dengan mengajarkannya sebagai bagian dari kurikulum pendidikan, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi.

Dalam konteks ini, pantun tidak hanya dilihat sebagai bagian dari sastra Melayu, tetapi juga sebagai sarana untuk memahami dan mengapresiasi budaya lokal.

Pendidikan menjadi kunci penting dalam memastikan bahwa pantun tetap hidup dan relevan, bukan hanya sebagai bentuk komunikasi masa lalu, tetapi juga sebagai bagian dari habitus generasi muda yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal.

Penting untuk dicatat bahwa hari Pantun Nasional bukan hanya menjadi ajang untuk merayakan pantun, tetapi juga sebagai momen untuk merefleksikan keberagaman budaya dalam masyarakat kita.

Dalam ruang publik yang ideal, seperti yang digambarkan oleh Habermas, setiap suara harus dihargai dan diberikan ruang untuk berbicara.

Pantun, sebagai bagian dari identitas Melayu, harus dipertahankan dan dilestarikan, bukan hanya sebagai warisan, tetapi juga sebagai alat untuk memperkaya percakapan sosial di dunia yang semakin terhubung ini.

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh media sosial dan komunikasi instan, pantun memiliki potensi untuk mengembalikan komunikasi yang lebih mendalam dan bermakna.

Dengan mengembalikan pantun ke dalam ruang publik, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga memperkaya kualitas komunikasi dalam masyarakat kita.

Hari Pantun Nasional dapat menjadi simbol dari upaya untuk menyelamatkan pantun dari ancaman simulasi dan mengembalikannya sebagai alat komunikasi yang lebih luhur dan bermakna.

Tantangan terbesar dalam mempertahankan pantun dalam ruang publik digital adalah menjaga agar esensi dan makna pantun tidak tergerus oleh kepentingan komersial atau hiburan yang dangkal.

Dalam dunia yang terhubung secara global ini, pantun harus mampu mempertahankan identitas budaya Melayu dan tidak terjebak dalam format yang kehilangan kedalamannya.

Dalam kerangka Habermas, ruang publik harus tetap menjadi tempat di mana komunikasi yang rasional dan bermakna dapat berlangsung, di mana setiap individu dapat berpartisipasi dengan bebas dan setara.

Sebagai penutup, Hari Pantun Nasional bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga kesempatan untuk merenung dan merenungkan bagaimana kita dapat menjaga dan melestarikan pantun sebagai bagian dari identitas budaya Melayu.

Melalui pendidikan, adaptasi digital, dan pemanfaatan ruang publik yang lebih luas, kita bisa memastikan bahwa pantun tetap menjadi bagian yang hidup dalam percakapan sosial.

Ini adalah tugas kita bersama untuk memastikan bahwa pantun tidak hanya dipandang sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai bagian integral dari budaya kita di dunia yang semakin terhubung.

Menyelamatkan pantun adalah upaya untuk menjaga keaslian identitas budaya di tengah arus perubahan global yang terus bergerak cepat. (*)

 

Keywords

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda